SERANG, RUBRIKBANTEN — Pernyataan Bung Karno bahwa “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” kini terasa nyata di tengah praktik rangkap jabatan oleh pejabat publik. Ironisnya, penjajah kini bukan dari luar, tetapi dari dalam: mereka yang diberi amanah justru menumpuk kekuasaan.
Ahmad Udedi Sigit, lawyer muda asal Banten, menyoroti keras praktik rangkap jabatan, terutama di kalangan anggota DPRD. Menurutnya, tindakan ini berpotensi besar melahirkan konflik kepentingan, memperparah ketimpangan sosial, dan menjadi pintu masuk praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“Ketika pejabat rangkap jabatan menikmati fasilitas dan akses ganda, rakyat justru mengalami rangkap penderitaan,” tegasnya.
DPRD sebagai representasi rakyat semestinya menjadi pilar pengawasan dan penyambung aspirasi masyarakat. Dalam UU MD3, telah diatur secara jelas bahwa anggota DPRD kabupaten/kota dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara, hakim, PNS, TNI/Polri, hingga profesi seperti pengacara dan notaris yang beririsan dengan tugas legislatif.
Namun sayangnya, celah dalam frasa “pekerjaan lain yang ada hubungannya” dalam Pasal 400 ayat (2) UU MD3, menimbulkan ambiguitas dan kerap dimanfaatkan untuk mengakali aturan hukum.
Ahmad menegaskan, “Perlu keberanian publik untuk melaporkan pelanggaran ini ke Badan Kehormatan DPRD (BKD). UU jelas memberikan ruang kepada siapa pun untuk mengawasi.”
Jika terbukti melanggar, anggota DPRD bisa dikenakan pemberhentian antar waktu (PAW). Hukum harus ditegakkan tanpa tebang pilih demi menjaga marwah lembaga perwakilan rakyat dan mengembalikan kepercayaan publik.
“Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan perselisihan,” pungkasnya, mengutip kaidah hukum Islam, Hukmu al-hakimi ilzamun wa yarfaú al-khilaf.















