SERANG, RUBRIKBANTEN — Proses seleksi jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten kembali menjadi sorotan nasional setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara resmi mengembalikan berkas hasil seleksi kepada Panitia Seleksi (Pansel). Alasan pengembaliannya sungguh mengejutkan dan mengguncang kredibilitas birokrasi: tidak dicantumkannya nilai dari sembilan dimensi Manajemen Talenta ASN indikator utama dalam sistem meritokrasi nasional.
Langkah Kemendagri ini menguatkan dugaan bahwa proses seleksi tersebut cacat secara administratif sekaligus moral.
Asesmen Objektif Dihilangkan, Diganti Penilaian Subjektif
Sembilan dimensi Manajemen Talenta ASN, yang mencakup kinerja, potensi kepemimpinan, kompetensi teknis, manajerial, sosial-kultural, rekam jejak, integritas, motivasi ASN, hingga kesiapan mobilitas, diabaikan dalam dokumen seleksi. Padahal, seluruh dimensi ini merupakan hasil asesmen objektif dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang semestinya menjadi fondasi dalam pengambilan keputusan pengisian jabatan tinggi pratama.
Alih-alih menggunakan data tersebut, Pansel yang diketuai Deni Hermawan hanya menyertakan dua elemen penilaian. Yakni, makalah dan wawancara, yang secara substansi lebih bersifat subjektif dan mudah dipengaruhi.
Dugaan Pengkondisian untuk Kandidat Tertentu
Praktik ini memicu kecurigaan bahwa seleksi telah dikondisikan untuk menguntungkan pihak tertentu, khususnya Pelaksana Harian (Plh) Sekda saat ini, Deden Apriandhi, yang disebut memiliki hubungan dekat dengan Gubernur Banten terpilih, Andra Soni.
Pengamat kebijakan publik, Aditya, menyebut bahwa penghilangan indikator meritokrasi ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi birokrasi dan antikorupsi.
“Kita sedang menyaksikan keruntuhan meritokrasi ASN secara terang-terangan. Ini bukan hanya cacat administrasi, tapi cacat moral. Proses ini mengarah pada praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN),” tegas Aditya, Sabtu (14/6/2025).
Ironi di Tengah Kampanye Antikorupsi
Aditya menyoroti ironi di balik kampanye antikorupsi yang digembar-gemborkan oleh Gubernur Andra Soni, yang justru tak sejalan dengan praktik di lapangan.
“Anak sekolah saja tidak boleh dititipkan ke kepala sekolah. Tapi jabatan Sekda bisa? Ini sangat membahayakan masa depan birokrasi Banten,” kritiknya.
Ia menambahkan, jika dugaan manipulasi dalam seleksi Sekda benar terjadi, maka ini bisa menjadi preseden buruk yang membuka celah besar bagi praktik transaksional dalam pengisian jabatan publik lainnya.
Minim Transparansi, Melanggar Aturan
Lebih miris lagi, masyarakat tidak diberi akses terhadap hasil nilai asesmen peserta. Padahal, menurut PermenPAN-RB No. 15 Tahun 2019, seluruh tahapan seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) wajib bersifat transparan dan dapat diakses publik.
Namun hingga berita ini diturunkan, tidak satu pun dokumen terkait asesmen sembilan dimensi dipublikasikan oleh Pansel.
Kemendagri Kirim Sinyal Tegas, Tapi Pemprov Bungkam
Pengembalian berkas oleh Kemendagri menjadi peringatan keras bahwa seleksi yang tidak mematuhi sistem nasional tidak akan mendapat legitimasi. Sayangnya, hingga saat ini Pemerintah Provinsi Banten belum memberikan pernyataan resmi terkait perbaikan atau pengulangan proses seleksi.
Sementara itu, desakan publik agar Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Ombudsman RI turun tangan semakin menguat. Banyak pihak menyerukan investigasi menyeluruh atas proses seleksi Sekda ini.
“Seleksi ini harus dibatalkan dan diulang dari awal dengan proses yang jujur, terbuka, dan sesuai sistem merit,” tegas Aditya.















