SERANG, RUBRIKBANTEN — Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Provinsi Banten menunjukkan kondisi darurat. Sepanjang tahun 2025, tercatat 1.254 kasus kekerasan berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) Kementerian PPA hingga 15 Desember 2025. Angka tersebut menempatkan Banten di peringkat delapan tertinggi nasional dari 38 provinsi sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Dibandingkan tahun sebelumnya, tren kekerasan di Banten terus meningkat. Pada 2024 tercatat 1.114 kasus, sementara pada 2020 jumlahnya masih 472 kasus. Lonjakan signifikan ini memunculkan tanda tanya besar atas efektivitas sistem perlindungan anak di daerah.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten, Hendry Gunawan, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi tersebut. Menurutnya, tingginya angka kekerasan justru berbanding terbalik dengan status seluruh kabupaten dan kota di Banten yang telah menyandang predikat Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) hingga 2025.
“Gelar Layak Anak seharusnya menjadi pijakan untuk bekerja lebih keras, bukan berhenti sebagai simbol prestasi. Fakta di lapangan menunjukkan anak-anak kita belum benar-benar aman,” tegas Hendry dalam Laporan Akhir Tahun 2025 Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten, Selasa (16/12/2025).
Berdasarkan sebaran wilayah, kasus tertinggi terkonsentrasi di kawasan Tangerang Raya. Kota Tangerang Selatan mencatat 293 kasus, disusul Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang masing-masing 254 kasus. Wilayah lainnya juga melaporkan angka yang mengkhawatirkan, yakni Kota Cilegon 111 kasus, Kabupaten Serang 100 kasus, Kabupaten Lebak 97 kasus, Kabupaten Pandeglang 83 kasus, dan Kota Serang 62 kasus.
Kondisi ini disebut sebagai masalah sistemik yang tidak hanya terjadi di wilayah metropolitan, tetapi juga merata hingga daerah non-metropolitan. Ironisnya, Kota Tangerang Selatan telah meraih predikat KLA tingkat Utama, Kota Tangerang Nindya, sementara wilayah lainnya berada pada tingkat Madya dan Pratama.
Hendry menilai, secara regulasi Banten telah memiliki fondasi kuat melalui Perda Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, ditambah berbagai peraturan daerah di delapan kabupaten dan kota. Namun, tantangan terbesar terletak pada implementasi dan penjaringan kasus di lapangan.
“Strategi penanganan tidak bisa disamaratakan. Tangerang Raya membutuhkan pendekatan metropolitan terintegrasi, Cilegon perlu fokus pada faktor industri dan mobilitas orang tua, sementara wilayah seperti Lebak harus mengandalkan penjangkauan berbasis tokoh adat dan layanan keliling,” ujarnya.
Komnas Perlindungan Anak Banten juga menyoroti kondisi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan. Secara statistik, cakupan pembentukan TPPK di Provinsi Banten mencapai 93,53 persen, bahkan menembus 96,39 persen di Kota Tangerang. Namun, capaian ini dinilai masih sebatas formalitas administratif.
“Banyak guru tidak mengetahui fungsi TPPK, bahkan tidak sadar tim itu ada di sekolah mereka. Akibatnya, penanganan kasus kembali dilakukan secara individual dan ad-hoc, tanpa pendekatan restoratif dan sistemik,” ungkap Hendry.
Ia menegaskan, tingginya angka kekerasan adalah alarm keras bahwa perlindungan anak tidak cukup hanya dengan gelar dan struktur di atas kertas. Dibutuhkan penguatan kapasitas, sosialisasi masif, pelatihan berjenjang, serta pengawasan ketat agar sistem yang ada benar-benar berjalan.
“Setiap angka adalah seorang anak yang menderita. Mereka butuh rasa aman yang nyata, bukan sekadar penghargaan. Inilah makna Layak Anak yang sesungguhnya,” tegasnya.
Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten mengapresiasi peran DP3A, Dinas Sosial, serta Polda Banten dan jajaran Polres dalam penanganan dan penegakan hukum. Namun, Hendry menekankan pentingnya kerja kolektif dan sinergi terukur antar-lembaga, dunia usaha, dan masyarakat untuk memutus mata rantai kekerasan.
“Paradoks antara gelar dan realita harus segera diakhiri. Anak-anak Banten membutuhkan perlindungan nyata, sekarang juga,” pungkasnya.















