CILEGON, RUBRIKBANTEN – Geliat industri yang selama ini menjadi kebanggaan Kota Cilegon kembali menuai kritik tajam. Minimnya kontribusi industri terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi sorotan dalam Diskusi Budaya #4 bertema “Menjaga Kearifan Budaya di Hadapan Kerusakan Ekosistem Cilegon” yang digelar di Kafe Luang Persona, Jumat malam (26/9/2025).
Tokoh masyarakat Cilegon Muhammad Ibrahim Aswadi (MIA) menilai industri di kota baja itu lebih banyak meninggalkan jejak masalah lingkungan ketimbang membuka peluang kerja layak bagi warga.
“Asap pabrik memang menjulang, tetapi lapangan kerja untuk masyarakat sekitar sangat terbatas. Industri ini belum banyak memberi kesejahteraan yang seimbang dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan,” tegasnya.
MIA mengungkapkan, di balik label Cilegon sebagai kota terkaya, masih banyak warga yang harus berhadapan dengan udara kotor, air tercemar, dan lingkungan yang kian sulit ditinggali. Ia menilai kerusakan ekosistem bukanlah fenomena tiba-tiba, melainkan buah dari paradigma pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi.
“Cerobong pabrik dianggap bukti keberhasilan, sementara sawah yang hilang atau nelayan yang berhenti melaut seolah tak dianggap masalah,” ujarnya.
Sorotan senada datang dari Ibnu PS Megananda, pelaku budaya Banten. Menurutnya, selain kerusakan ekologi, kebudayaan asli masyarakat Cilegon kini ikut tergerus.
“Kearifan lokal makin luntur. Budaya asli Cilegon sulit diselamatkan karena ruangnya semakin menyempit oleh ekspansi industri,” katanya.
Hilangnya ruang hidup, lanjut Ibnu, berarti pula hilangnya ruang budaya yang selama ini menjadi identitas warga.
Para narasumber sepakat bahwa Cilegon membutuhkan paradigma baru pembangunan—bukan hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin keberlanjutan lingkungan dan pelestarian budaya lokal.
“Yang paling sedikit berkontribusi pada kerusakan justru masyarakat kecil, tapi mereka pula yang paling berat menanggung akibatnya,” ungkap MIA.
Diskusi yang diinisiasi Mang Pram dan Indra Kusuma ini memotret Cilegon sebagai kota dengan dua wajah. Di satu sisi, pembangunan industri membawa kisah proyek strategis nasional, pelabuhan, dan derasnya investasi. Namun di sisi lain, terdapat kenyataan pahit: laut yang keruh, sawah yang menyusut, udara yang pengap, dan anak-anak kecil yang batuk karena debu.
“Kedua cerita ini hidup berdampingan, tetapi yang kedua sering tenggelam oleh riuh yang pertama,” tutur Mang Pram menutup diskusi.
Diskusi Budaya #4 ini menjadi alarm keras bagi Cilegon: kekayaan industri tak boleh terus mengorbankan alam dan kearifan lokal yang menjadi akar kehidupan warganya.















