By: Dimas Supriyanto
Pertemuan dua jam antara Presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo di rumah Kertanegara, Sabtu (4/10/2025), kembali memunculkan tafsir politik yang tak akan pernah berkesudahan. Dua jam bukan waktu yang singkat terutama bagi dua sosok yang tengah dan pernah memegang kendali atas negara.
Dalam tradisi politik kita, pertemuan antara presiden baru dan presiden lama biasanya sebatas basa-basi simbolik. Tapi kali ini berbeda. Dua jam itu seolah menandai bahwa kekuasaan Jokowi belum benar-benar berakhir—ia hanya berganti bentuk.
Pernahkah Prabowo menghabiskan waktu dua jam berbincang dengan Susilo Bambang Yudhoyono—yang juga sesama purnawirawan TNI? Tidak. Ini menandai babak baru politik Indonesia, di mana istilah “mantan” tak lagi berarti “selesai”. Jokowi adalah mantan yang sulit dilupakan, bahkan sulit diabaikan.
Ia menjadi contoh bahwa pengaruh politik bisa tetap hidup tanpa jabatan. Jokowi bukan “bebek lumpuh” seperti yang diinginkan Amien Rais atau diramalkan Rocky Gerung. Ia mungkin dibenci, tapi juga disegani. Dituduh cawe-cawe, tapi justru dicari untuk dimintai pandangan.
Pertemuan di Kertanegara bukan sekadar temu kangen dua tokoh bangsa. Itu adalah potret tentang kekuasaan yang tidak pernah benar-benar pergi—hanya berpindah dari ruang resmi Istana ke ruang tamu rumah pribadi. Dari kekuasaan formal menjadi pengaruh yang senyap, tapi nyata.
Prabowo tampaknya sadar bahwa menyingkirkan pengaruh Jokowi lebih berisiko daripada merangkulnya. Dengan mengundang Jokowi ke rumahnya, Prabowo justru menegaskan rasa percaya dirinya. Ia tidak merasa terancam oleh bayangan besar itu. Ia tahu: kekuasaan bisa dibagi tanpa kehilangan kendali.
Bagi Jokowi, kunjungan itu adalah bentuk pengakuan bahwa pengaruhnya masih diakui, meski tak lagi resmi. Ia bukan lagi pemain utama di kabinet, tapi masih menjadi sumber legitimasi moral dan politik bagi pemerintahan baru.
Dua jam di balik pintu rumah Kertanegara mungkin berisi koordinasi, klarifikasi, atau sekadar upaya memastikan transisi kekuasaan berjalan mulus. Namun bagi publik, pertemuan itu menggambarkan bagaimana politik Indonesia sering beroperasi di jalur tak tertulis: lewat pertemanan, loyalitas, dan rasa sungkan yang khas.
Selama satu dekade, Jokowi sering diremehkan dihina karena logat Jawanya, direndahkan karena kesederhanaannya. Tapi ia bertahan, menang dua kali, dan meninggalkan jejak pengaruh yang sulit dihapus. Kini, meski sudah purna tugas, rumahnya di Solo menjadi semacam “istana bayangan”, tempat elite politik datang silih berganti.
Sejarah mencatat banyak presiden yang setelah lengser memilih menghilang dari panggung kekuasaan. Tapi Jokowi menulis bab baru: ia tetap menjadi poros, bahkan setelah lampu Istana padam.
Jokowi mungkin tidak lagi memegang palu kekuasaan, tapi ia masih mengendalikan arah angin politik. Ia dibenci oleh sebagian, tapi disegani oleh banyak.
Dan seperti sejarah sering berputar dengan caranya sendiri ia yang dulu diramalkan menjadi “bebek lumpuh”, kini justru menjadi pemain kunci dalam babak baru kekuasaan Indonesia.
Jokowi memang telah pergi dari Istana. Tapi bayangannya masih duduk di ruang tamu kekuasaan.















