SERANG, RUBRIKBANTEN – Di Kampung Tampakaso, Desa Angsana, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, jalan bukan sekadar infrastruktur. Ia adalah cermin kehadiran negara. Namun selama lebih dari 25 tahun, yang terlihat hanya bayang-bayang pengabaian.
Jalan utama sepanjang lima kilometer yang menghubungkan kampung ini dengan Kota Cilegon kini berubah menjadi lintasan maut. Setiap hujan turun, jalanan berubah jadi arena licin penuh bebatuan dan lubang menganga, tepat di tepi jurang yang mengintai nyawa.
“Kalau hujan, motor sering jatuh. Malam hari juga gelap, tidak ada lampu. Kami benar-benar was-was setiap hari,” keluh Mad Rais, warga setempat, Kamis (19/6/2025).
Bukan hanya rusak, jalan ini juga menanjak tajam dengan sisi kanan berupa jurang. Ketakutan menjadi teman setiap perjalanan warga. Tak jarang, mereka harus patungan membenahi jalan dengan dana swadaya—seolah pemerintah benar-benar absen.
Ironisnya, setiap tahun desa ini menerima Dana Desa yang nilainya miliaran rupiah. Namun tak sepeser pun menyentuh infrastruktur vital ini. Warga merasa hanya dijadikan angka dalam laporan pembangunan yang penuh gembar-gembor, tapi kosong realisasi.
“Kami seperti berbicara ke tembok. Sudah capek menyampaikan, tidak juga direspons. Bahkan belum pernah ada perbaikan sejak saya kecil,” ucap Rais dengan nada kecewa.
Lebih dari sekadar jalan, ini adalah simbol ketimpangan dan kegagalan birokrasi dalam membangun dari pinggiran. Di tengah gegap gempita pembangunan nasional, Kampung Tampakaso seperti terhapus dari peta prioritas.
“Kami tidak minta jalan tol. Kami hanya ingin jalan yang layak agar kami bisa hidup aman dan nyaman di kampung sendiri,” tegas Rais.
Warga kini berharap bukan lagi janji, melainkan bukti. Jalan bukan cuma batu dan aspal, tapi napas kehidupan.















