Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BeritaDaerahKementerianNasionalOpiniOrganisasiPemerintahPendidikanPolitikSosial

Ketika Seorang Anak Dibunuh, Kemanusiaan Ikut Mati

127
×

Ketika Seorang Anak Dibunuh, Kemanusiaan Ikut Mati

Sebarkan artikel ini

Oleh: Arifin Al Bantani

Pembunuhan terhadap seorang anak berusia sembilan tahun adalah kejahatan paling keji yang bisa dilakukan manusia. Ia bukan sekadar peristiwa kriminal, melainkan tragedi moral yang menghantam keras nurani kemanusiaan. Di usia ketika dunia seharusnya dikenali lewat tawa, permainan, dan rasa aman, kematian datang bukan sebagai takdir alam, melainkan sebagai pilihan kejam tangan manusia. Pada titik itu, kata-kata kehilangan daya jelaskan, dan nurani hanya mampu bertanya: di mana hati kita tertinggal?

Seorang anak tidak memikul dosa dunia. Ia hadir sebagai kemungkinan, sebagai harapan yang belum sempat diuji oleh waktu. Ketika nyawanya direnggut, yang musnah bukan hanya tubuh kecil itu, tetapi juga masa depan yang tak pernah diberi kesempatan tumbuh. Ada kehampaan yang tak bisa diisi kembali—bukan oleh hukuman seberat apa pun, bukan oleh penyesalan, apalagi oleh waktu yang terus berjalan tanpa rasa bersalah.

Tak ada alasan yang cukup kuat untuk membenarkan kematian seorang anak. Amarah, luka batin, kemiskinan, bahkan kegilaan, semuanya runtuh di hadapan satu fakta telanjang: satu kehidupan tak berdosa telah dihapuskan. Pembunuhan anak adalah momen ketika manusia sepenuhnya menyerah pada sisi tergelap dirinya, dan kemanusiaan dipaksa menatap wajahnya sendiri—retak, rusak, dan kehilangan arah.

Peristiwa ini seharusnya memaksa kita berhenti, menundukkan kepala, lalu bercermin. Bukan hanya menunjuk pelaku, tetapi juga menyoal lingkungan, sistem, dan kepekaan sosial kita yang mungkin telah lama tumpul. Barangkali kita terlalu sering berpaling, terlalu sibuk, atau terlalu terbiasa dengan kekerasan, hingga lupa bahwa anak-anak semestinya berada di pusat perlindungan kita, bukan di pinggir tragedi.

Baca juga:  Jelang Nataru 2025, 14 SPBU di Cilegon Lulus Uji Takar: Disperindag Pastikan BBM Sesuai Bayar

Dalam kesunyian duka, suara anak itu memang telah terdiam. Namun gema kehilangannya akan menetap lama, menghantui kesadaran kolektif kita dengan satu pertanyaan yang tak mudah dijawab: masih pantaskah kita menyebut diri manusia, jika yang paling lemah pun gagal kita jaga? Dari pertanyaan itulah seharusnya tumbuh tekad baru—bahwa hidup, sekecil apa pun, tak boleh lagi dibiarkan jatuh tanpa penjaga.

Ketika tangan manusia merenggut hidup seorang anak, dunia seketika kehilangan cahayanya. Bukan karena matahari berhenti terbit, melainkan karena nurani tak lagi memantulkan terang. Ada sesuatu yang padam jauh di dalam batin manusia—sesuatu yang seharusnya menjaga kehidupan tetap sakral dan tak tersentuh oleh kekerasan.

Seorang anak adalah cahaya yang belum tercemar kepentingan dan dendam. Ia hadir dengan kejujuran yang polos dan harapan yang belum disusun oleh ketakutan. Saat hidupnya dirampas, makna kemanusiaan pun runtuh, sebab ukuran kemanusiaan selalu ditentukan oleh cara kita melindungi yang paling lemah. Di titik itu, kata manusia menjadi hampa—sekadar sebutan biologis tanpa jiwa.

Baca juga:  Bupati Serang Hadiri Peluncuran Adhyaksa FC, Tegaskan Roda Pemerintahan Tetap Ngebut

Kematian seorang anak bukan hanya tragedi personal, melainkan luka kolektif. Ia memaksa kita menghadapi pertanyaan yang sunyi namun mengguncang: bagaimana mungkin tangan yang diciptakan untuk merawat justru memilih untuk memusnahkan? Di sanalah kita sadar, bahwa kejahatan terbesar bukan hanya tindakan membunuh, tetapi hilangnya empati yang mendahuluinya.

Dunia memang tetap berputar, waktu terus berjalan. Namun sesuatu telah bergeser. Ada ruang kosong tempat kepercayaan pada sesama manusia seharusnya bersemayam. Cahaya itu mungkin redup, tetapi belum sepenuhnya padam selama kita mau menjaganya dengan kesadaran, keberanian, dan tanggung jawab moral.

Sebab jika kematian seorang anak dibiarkan berlalu tanpa perenungan, maka kegelapan akan semakin akrab. Dan tanpa kita sadari, kemanusiaan akan terus kehilangan maknanya, sedikit demi sedikit.

على هذه النية وعلى كل نية صالحة
الفاتحة

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
آمين

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ، وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ.

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan Rubrik Banten