Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BeritaDaerahKementerianKota CilegonNasionalOpiniOrganisasiPemerintahPendidikanSosial

Ucapan Natal dan Ujian Kedewasaan Iman

123
×

Ucapan Natal dan Ujian Kedewasaan Iman

Sebarkan artikel ini

Oleh Arifin Al Bantani

Setiap Desember, kata-kata berubah menjadi medan tafsir.
Ucapan Selamat Natal tak lagi sekadar rangkaian huruf, melainkan cermin tempat iman bercakap dengan kemanusiaan.

Bagi sebagian umat Muslim, iman adalah wilayah sunyi yang dijaga ketat dari gema keyakinan lain. Di ruang ini, kata-kata diperlakukan dengan kehati-hatian, sebab setiap ujaran dianggap berpotensi menjadi pernyataan iman. Diam, dalam tafsir tersebut, adalah bentuk kesetiaan; menahan ucapan adalah cara menjaga batas keyakinan.

Namun bagi sebagian yang lain, iman justru menemukan kedewasaannya ketika ia mampu berdiri tegak di tengah perbedaan. Ucapan Selamat Natal tidak dipahami sebagai pengakuan teologis, melainkan sebagai salam kemanusiaan—sebuah isyarat bahwa kita hidup di tanah yang sama, menghirup udara yang sama, dan memendam harapan damai yang serupa.

Kata-kata, sesungguhnya, tidak pernah netral. Ia selalu membawa niat, konteks, dan sejarah. Ucapan yang lahir dari ketulusan berbeda dengan ucapan yang dipaksakan, sebagaimana toleransi yang hidup berbeda dengan toleransi yang sekadar dipertontonkan.

Indonesia adalah ruang perjumpaan. Di negeri ini, iman tidak hidup dalam ruang hampa. Ia berjalan berdampingan dengan iman lain, bertemu di pasar, kampus, ruang kerja, dan rumah ibadah. Dalam ruang semacam ini, ucapan Selamat Natal bisa menjadi jembatan, namun juga bisa menjelma tembok—semuanya bergantung pada bagaimana ia dimaknai dan digunakan.

Baca juga:  KPU Cilegon Bukukan Tiga Penghargaan Pilkada 2024, Hemat Rp6 Miliar dari Hibah

Yang sesungguhnya meretakkan persaudaraan bukanlah perbedaan sikap, melainkan hasrat untuk memurnikan dunia dengan meniadakan yang lain. Ketika iman berubah menjadi alat penghakiman, kata-kata kehilangan ruhnya, dan agama kehilangan kebijaksanaannya.

Maka barangkali pertanyaannya bukanlah: haruskah mengucapkan Selamat Natal?
Melainkan: bagaimana kita tetap manusia saat memilih untuk mengucapkan, dan tetap beradab saat memilih untuk tidak mengucapkan?

Sebab iman yang matang tidak panik pada perbedaan, dan kemanusiaan yang utuh tidak menuntut keseragaman.

Di antara iman dan kata-kata, kita sedang belajar satu hal yang paling mendasar: hidup bersama, tanpa saling meniadakan.

Meski kita tidak dipersatukan oleh agama yang sama, kita tetap saudara dalam kemanusiaan.

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *