Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BantenBeritaDaerahKabupaten LebakKabupaten SerangKota CilegonKota SerangKota TangerangNasionalPemerintahPendidikanSosial

Terbelenggu dalam Perkawinan Anak: Cermin Ketimpangan Gender di Indonesia

225
×

Terbelenggu dalam Perkawinan Anak: Cermin Ketimpangan Gender di Indonesia

Sebarkan artikel ini

SERANG, RUBRIKBANTEN – Perkawinan anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia, salah satu dari sepuluh negara dengan angka tertinggi untuk praktik ini, menurut data UNICEF (2023). Fenomena ini bukan sekadar masalah individu, melainkan cerminan struktur sosial yang tidak setara dan budaya patriarki yang mengakar. Anak perempuan menjadi pihak paling rentan, terjebak dalam lingkaran ketidakadilan yang terus memperkuat ketimpangan gender. Praktik ini berdampak luas, memengaruhi pendidikan, ekonomi, kesehatan, hingga peran sosial perempuan dalam masyarakat.

Dalam norma budaya banyak wilayah Indonesia, anak perempuan sering dipandang sebagai beban ekonomi bagi keluarga. Menikahkan mereka di usia muda dianggap solusi untuk meringankan beban tersebut, meskipun konsekuensi jangka panjangnya sangat merugikan. Berdasarkan data BPS (2022), sebanyak 11,2% perempuan Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kondisi ini menunjukkan bahwa anak perempuan lebih sering menjadi korban dari sistem yang tidak adil. Dalam banyak kasus, mereka dipaksa meninggalkan pendidikan demi menjalankan peran domestik, yang pada akhirnya mempersempit peluang untuk berkembang secara pribadi maupun profesional.

Dampak terhadap Pendidikan dan Ekonomi
Pendidikan adalah salah satu aspek pertama yang dikorbankan akibat perkawinan anak. Data Kementerian Pendidikan (2022) mencatat hanya 14% anak perempuan yang menikah dini melanjutkan pendidikan hingga SMA. Terhentinya pendidikan ini memutus peluang mereka mendapatkan pekerjaan layak, memperbesar ketergantungan ekonomi pada pasangan, dan menurunkan daya saing di dunia kerja. Konsekuensi ini tak hanya merugikan individu, tetapi juga melemahkan kontribusi perempuan terhadap pembangunan ekonomi negara.

Baca juga:  93% Aceh Kembali Terang: Kolaborasi Nasional Menembus Bencana, PLN Pacu Pemulihan Hingga Titik Terberat

Ketergantungan ekonomi pada pasangan sering kali menjerumuskan mereka ke dalam situasi rentan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Komnas Perempuan (2023) mencatat bahwa perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki risiko 1,8 kali lebih besar mengalami KDRT. Minimnya akses pendidikan, pengetahuan hukum, dan layanan perlindungan membuat mereka sulit keluar dari kondisi berbahaya ini.

Risiko Kesehatan dan Beban Emosional
Kehamilan pada usia remaja membawa risiko kesehatan serius. WHO (2022) menyebutkan bahwa kehamilan dini meningkatkan risiko komplikasi medis, seperti preeklampsia, kelahiran prematur, hingga kematian ibu. Selain itu, tekanan emosional akibat tanggung jawab domestik dan stigma sosial semakin memperburuk kondisi mental mereka. Semua ini menghalangi mereka menjalani hidup dengan potensi penuh.

Melawan Norma Patriarki

Budaya patriarki di banyak wilayah Indonesia terus memposisikan perempuan yang menikah dini hanya dalam peran tradisional, seperti istri dan ibu. Hal ini menghambat partisipasi mereka di ruang publik, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan. Praktik ini bertolak belakang dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin kelima tentang kesetaraan gender.

Baca juga:  Dindikbud Cilegon Akui Pelestarian Budaya Belum Maksimal: Bandrong hingga Batik Jadi Prioritas

Solusi dan Harapan

Menghapus perkawinan anak membutuhkan langkah komprehensif. Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan usia minimum menikah 19 tahun adalah langkah awal, tetapi implementasinya masih lemah. Data Pengadilan Agama (2023) menunjukkan 63% permohonan dispensasi dikabulkan, sering tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi anak perempuan. Pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap dispensasi ini dan memastikan kebijakan yang ada dijalankan secara tegas.

Pemberdayaan perempuan melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kampanye perubahan norma sosial harus menjadi prioritas. Masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran akan bahaya perkawinan anak melalui kampanye publik dan edukasi berbasis komunitas.

 

Perkawinan anak adalah pelanggaran hak asasi manusia yang memperburuk ketimpangan gender. Masa depan yang setara bagi perempuan Indonesia hanya dapat terwujud jika kita bersama-sama memutus rantai praktik ini. Sebagaimana Eleanor Roosevelt mengatakan, “The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.” Mari berjuang untuk masa depan di mana perempuan bebas menggapai potensi terbaik mereka. (Ades/RB)

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan Rubrik Banten