Oleh: Nuskey
Masalah Kebangsaan: Kekuasaan Berganti, Watak Tetap Menindas
Soe Hok Gie, seorang intelektual muda yang tak pernah lelah mengkritik rezim, menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah dalam masa transisi kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. Dalam momen genting Maret 1966, saat lahirnya Supersemar, Gie menulis, “Saya merasakan hawa haru tetapi juga hawa mencemaskan, kekuasaan kini berpindah tangan tetapi kepada siapa? Apakah ini kemenangan rakyat?”
Kekhawatirannya terbukti. Bergantinya pemimpin ternyata tak serta-merta mengubah watak kekuasaan. Rakyat tetap dibungkam, dicurigai, bahkan ditindas. Dalam esainya soal pembantaian massal di Bali pasca-G30S, Gie lantang menyatakan, “Saya muak dengan darah revolusi yang membunuh. Tak ada bedanya dari kekuasaan yang kita lawan.” Kritiknya menjadi cermin tajam betapa kekuasaan kerap menjadikan rakyat sebagai tumbal.
Dunia Mahasiswa: Kampus Sebagai Arena Perlawanan
Kuliah di Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah UI sejak 1962, Soe Hok Gie memilih sejarah karena ingin “menulis ulang sejarah yang hilang”. Bagi Gie, sejarah harus menjadi alat pembebasan, bukan alat pemerasan.
Sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI dan pendiri Mapala UI, Gie menyaksikan langsung kebobrokan di lingkungan kampus. Dalam tulisannya “Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah”, ia menguliti kemunafikan di kalangan mahasiswa yang seharusnya menjadi motor perubahan. Kampus, menurutnya, bukan sekadar ruang akademik, tapi tempat bertukar pikiran bebas dari kepentingan penguasa.
Gie aktif membentuk ruang diskusi seperti ISMI (Ikatan Mahasiswa Sejarah Indonesia), bergabung dalam GEMSOS (Gerakan Mahasiswa Sosialis), hingga ikut turun ke jalan melalui KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dengan tuntutan legendaris TRITURA. Bahkan setelah lulus, ia tetap melawan sistem yang bobrok melalui tulisan, salah satunya “Dosen-Dosen Juga Perlu Dikontrol”, mengkritik dosen-dosen yang malas, tiran, bahkan bodoh.
Masalah Kemanusiaan: Antara Empati dan Kekuasaan
Gie tidak hanya bicara politik, tapi juga kemanusiaan. Ia menjerit saat 80.000 tahanan politik G30S dipenjara tanpa proses hukum. Dalam tulisannya, ia mengkritik keras praktik korupsi, pelacuran intelektual, dan demoralisasi birokrasi. Ia tak segan menyebut nama, bahkan dalam budaya yang tabu menyebut langsung pelaku.
Ia menulis, “Kita sering membicarakan revolusi dari atas, sedangkan rakyat cuma tahu nasi, kerja, dan harga barang. Kita telah kehilangan empati!”
Catatan Perjalanan: Mimpi tentang Dunia yang Lebih Bersih
Antara Oktober 1968 hingga Januari 1969, Soe Hok Gie berkelana ke Amerika Serikat dan Australia, mengunjungi kampus-kampus ternama seperti Berkeley, Yale, dan Cornell. Di sana ia berinteraksi dengan mahasiswa mancanegara dan menuliskan pengalamannya untuk media ibu kota.
Dalam puisinya, ia menuliskan:
“Saya mimpi tentang sebuah dunia,Di mana ulama, buruh, dan pemuda Bangkit dan berkata:Stop semua kemunafikan,Stop semua pembunuhan atas nama apa pun.”
Refleksi: Intelektual Sebagai Resi dan Penyeru Nurani
Persoalan yang dihadapi Gie adalah persoalan klasik: dilema intelektual antara bersikap dingin atau terjun langsung ke masyarakat. Ia memilih jalan kedua—mengkritik, memperingatkan, dan siap menerima pukulan balik dari kekuasaan.
Seperti kata Edward Shils, di negara berkembang, politik adalah gelanggang yang tak mungkin dihindari kaum intelektual. Gie menyebut, “Bagiku politik adalah barang yang kotor… Tapi saat kita tak bisa menahan diri, maka terjunlah!”
Gie pun tak segan mengkritik rekannya yang dulu berjuang tapi kini duduk nyaman di kursi DPR-GR, bahkan mengirimi mereka perlengkapan kecantikan agar tampil manis di depan pemerintah—sindiran tajam untuk teman seperjuangannya yang kini lupa idealisme.
Penutup: Warisan yang Masih Menyala
Soe Hok Gie meninggal muda, direnggut gas beracun saat mendaki Gunung Semeru. Namun, gagasan dan kritiknya tetap menyala. Tulisan-tulisannya masih relevan hari ini. Yang berubah hanya panggung, kostum, dan para pemainnya.
Ia bukan sekadar aktivis atau dosen, tapi suara nurani yang menolak diam di tengah kebungkaman massal. Ia adalah resi zaman modern yang tak pernah lelah memperingatkan.
“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” — Soe Hok Gie















