Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BeritaDaerahEkonomiKementerianKota CilegonNasionalOrganisasiPemerintahPendidikanPolitikSosialWisata

Monumen Geger Cilegon 1888: Ketika Memori Perjuangan Terancam Jadi Dekorasi Kota

134
×

Monumen Geger Cilegon 1888: Ketika Memori Perjuangan Terancam Jadi Dekorasi Kota

Sebarkan artikel ini

Monumen Geger Cilegon 1888 bukan sekadar bangunan batu; ia adalah saksi sejarah, penanda perlawanan rakyat Banten terhadap kolonialisme. Ia merekam keberanian petani, ulama, jawara, dan santri yang pada 1888 bangkit menentang ketidakadilan Belanda. Namun kini, monumen itu memasuki babak baru: babak ketika wajah fisiknya diperbarui, tetapi makna historisnya justru dipertanyakan.

Akar Perlawanan yang Tak Boleh Dipangkas

Peristiwa Geger Cilegon 1888 lahir dari tekanan pajak, kekerasan aparat kolonial, dan ketidakadilan ekonomi yang menghimpit rakyat. Tokoh-tokoh seperti KH Wasid dan Tubagus Ismail adalah motor moral perlawanan yang terorganisir dan menyala dari kampung ke kampung.

Peristiwa itu bukan hanya catatan lokal, melainkan bagian dari mozaik kesadaran nasional Indonesia. Monumen yang berdiri hari ini seharusnya menjaga nyala itu, bukan meredupkannya.

Dari Rencana 1997 hingga Peresmian 2019: Monumen yang Lama Dinanti

Gagasan pembangunan Monumen Geger Cilegon muncul pada 1997. Dibutuhkan lebih dari dua dekade untuk menyelesaikannya, hingga akhirnya diresmikan pada 10 November 2019, tepat di Hari Pahlawan. Letaknya yang strategis di area publik mempertegas fungsinya sebagai ruang refleksi sejarah dan ingatan kolektif.

Baca juga:  Wagub Banten: Catur Bukan Sekadar Permainan, Ini Seni Memimpin dan Mengatur Kehidupan

Monumen ini dibangun agar masyarakat Banten tidak melupakan keberanian yang pernah berkobar di tanah mereka.

Wajah Baru yang Menyilaukan, Tapi Apakah Mencerahkan?

Revitalisasi terbaru menghadirkan monumen dengan rupa lebih modern taman rapi, pedestrian nyaman, lampu artistik, dan estetika yang “instagramable”. Pemerintah menarasikan monumen ini sebagai “laboratorium sejarah terbuka”.

Namun ruang estetika tak otomatis berubah menjadi ruang edukasi. Di balik kilau cahaya dan taman yang cantik, muncul pertanyaan: apakah maknanya ikut diperkaya, atau justru dipermudah hingga kehilangan substansi?

Bahaya Besar: Komersialisasi Sejarah dan Penyusutan Narasi

Revitalisasi yang terlalu menonjolkan dekorasi berisiko menggeser fungsi monumen dari pengingat perjuangan menjadi spot foto belaka. Lebih mengkhawatirkan lagi, dalam narasi resmi yang disebarkan, aspek-aspek krusial seperti penindasan kolonial, penderitaan rakyat, dan radikalisme perlawanan mulai dilemahkan.

Sejarah yang kompleks diringkas menjadi slogan. Ingatan kolektif pun perlahan terdegradasi.

Minim Edukasi, Minim Narasi, Minim Makna

Tanpa papan informasi sejarah, tanpa penjelasan tokoh, tanpa narasi peristiwa, tanpa penanda arsitektur simbolik, revitalisasi bisa berubah menjadi kosmetika.

Baca juga:  Kapolsek Cibeber AKP Atep Mulyana Gerakkan Warga Hidupkan Kembali Pos Kamling, Wujudkan Cibeber Aman dan Kondusif

Generasi muda datang, berfoto, lalu pergi—tanpa tahu bahwa tanah tempat mereka berdiri pernah menjadi panggung perlawanan berdarah melawan kolonialisme.

Monumen yang dipoles tanpa penjelasan ibarat buku yang sampulnya indah tapi halamannya kosong.

Harusnya Menjadi Ruang Edukasi, Bukan Ruang Estetika Saja

Jika benar ingin menjadi “laboratorium sejarah”, maka monumen harus dilengkapi:

  • Papan interpretasi sejarah yang kuat
  • Penjelasan tokoh dan konteks sosial-ekonomi 1888
  • Informasi simbolisme arsitektur
  • Agenda edukatif: tur sejarah, diskusi publik, hingga peringatan tahunan

Tanpa itu semua, revitalisasi hanya mengubah rupa, bukan makna.

Mempercantik Boleh, Mengaburkan Jangan

Monumen Geger Cilegon 1888 bukan hanya simbol masa lalu—ia adalah kompas identitas kultural dan historis masyarakat Banten. Revitalisasi adalah langkah positif, tetapi harus dibarengi dengan pendalaman narasi, bukan sekadar pemolesan visual.

Sebuah peradaban dinilai dari bagaimana ia merawat sejarahnya. Merawat sejarah bukan hanya memperindah monumen, tetapi memastikan bahwa nilai perjuangan di dalamnya tetap hidup di benak masyarakat, terus menjadi inspirasi, dan tidak terkubur oleh hiasan.

 

Cilegon, 18 November 2025
Rizal Arif Baihaqi

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *