Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BeritaBisnisDaerahEkonomiKementerianKota CilegonNasionalPemerintahPendidikanPolitikSosial

Ketika Mogok Kerja Berujung Bencana Ketenagakerjaan

343
×

Ketika Mogok Kerja Berujung Bencana Ketenagakerjaan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Faruk Oktavian
Kabid Hubungan Industrial Disnaker Kota Cilegon

Dinamika hubungan antara pengusaha dan karyawan sering kali menjadi penentu iklim dunia industri di Kota Cilegon. Meskipun perselisihan hubungan industrial tidak dapat dihindari, mekanisme penyelesaiannya telah diatur secara ketat oleh beberapa regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).

Salah satu kasus yang mencuat dari perspektif ketenagakerjaan adalah PHK terhadap 92 karyawan PT Bungasari Flour Mills. PHK massal ini disinyalir merupakan respons perusahaan atas aksi mogok kerja yang dinilai tidak sah. Akar masalahnya adalah keputusan mutasi seorang pegawai ke Medan, yang kemudian memicu aksi mogok oleh serikat pekerja. Namun, persoalan krusial terletak pada pemberitahuan mogok kerja yang dinilai tidak sesuai dengan durasi pelaksanaannya.

Mutasi Karyawan dan Dasar Hukumnya

Keputusan mutasi karyawan merupakan hak prerogatif manajemen sebagai bagian dari upaya penyesuaian kebutuhan operasional. Walaupun UU No. 13 Tahun 2003 tidak secara eksplisit mengatur mutasi, praktik ini biasanya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Pasal 54 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa perjanjian kerja harus memuat “tempat pekerjaan”, dan perubahan atasnya seyogyanya melalui kesepakatan bersama.

Namun, meskipun mutasi merupakan hak manajemen, tetap harus didasarkan pada alasan yang objektif dan tidak boleh merugikan hak-hak dasar pekerja. Mutasi yang mengarah pada penurunan jabatan, penurunan pendapatan, atau diskriminasi, tanpa kompensasi layak, dapat menjadi pemicu perselisihan hubungan industrial.

Baca juga:  HMI Cabang Serang Kecam Aksi Polisi Geruduk Warga Cibetus, Santri Ikut Ditangkap

Mogok Kerja: Hak Dasar yang Diatur Ketat

Mogok kerja adalah hak dasar pekerja yang dilindungi konstitusi dan diatur dalam Pasal 137 UU Ketenagakerjaan. Hak ini dapat dilakukan jika terjadi kegagalan perundingan, sebagaimana dijabarkan dalam Permenaker Nomor KEP.232/MEN/2003.

Namun, pelaksanaannya harus memenuhi prosedur yang ditetapkan dalam Pasal 140 UU Ketenagakerjaan:

  1. Pemberitahuan tertulis minimal 7 hari sebelum aksi mogok kepada perusahaan dan instansi ketenagakerjaan setempat.
  2. Isi pemberitahuan harus mencantumkan waktu mulai dan berakhirnya mogok kerja, tempat, alasan, serta penanggung jawabnya.
  3. Pelaksanaan mogok kerja wajib dilakukan secara tertib dan damai.

Ketidaksesuaian Waktu: Celah Prosedural yang Fatal

Permasalahan utama dalam kasus PT Bungasari adalah adanya disparitas antara pemberitahuan dan pelaksanaan mogok kerja. Surat pemberitahuan mencantumkan durasi pukul 07.00–18.00 WIB, sementara aksi di lapangan berlangsung selama 24 jam.

Hal ini menjadi celah prosedural yang digunakan perusahaan untuk menyatakan mogok kerja tidak sah. Sesuai Pasal 140 ayat (2) huruf a, ketidaksesuaian durasi mogok kerja dapat berimplikasi serius:

  1. Dianggap mangkir: Kehadiran di luar jam yang diberitahukan bisa dianggap tidak masuk kerja tanpa keterangan sah.
  2. Pelanggaran prosedural: Informasi yang tidak akurat dalam pemberitahuan dapat menggugurkan legalitas aksi mogok kerja.

Jika mogok kerja dinyatakan tidak sah, maka sesuai Pasal 141 ayat (1), pekerja tidak dilindungi dari ancaman PHK. Bahkan, mereka bisa dianggap mengundurkan diri (Pasal 168) jika mangkir lima hari berturut-turut tanpa keterangan tertulis dan telah dipanggil secara patut sebanyak dua kali.

Baca juga:  Mayat Membusuk di Kontrakan Cikande: Pintu Terkunci, Misteri Terkuak Saat Rekan Kerja Mengintip Celah Kusen

PHK Harus Tetap Sesuai Prosedur

Walau perusahaan memiliki argumen kuat soal ketidaksesuaian prosedur, PHK tetap tidak bisa dilakukan sembarangan. Pengusaha wajib melalui tahapan yang telah ditentukan, mulai dari pemberian peringatan, pemanggilan, mediasi bipartit, hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial jika tidak tercapai kesepakatan.

Penting ditekankan bahwa mogok kerja—meski dianggap tidak sah—tidak secara otomatis menjadi dasar PHK sepihak. Semua tindakan harus mengikuti tahapan yang adil, transparan, dan sesuai koridor hukum.

Kesimpulan: Prosedur Sama Pentingnya dengan Substansi

Kasus PHK massal di PT Bungasari menjadi pelajaran berharga bagi semua pelaku hubungan industrial di Kota Cilegon. Ketidakcermatan dalam hal prosedural, sekecil apapun itu, bisa menjadi titik balik fatal yang merugikan pekerja. Serikat pekerja wajib cermat, teliti, dan akurat dalam setiap pemberitahuan aksi.

Begitu pula pengusaha, perlu mengedepankan penyelesaian perselisihan melalui dialog konstruktif dan mediasi tripartit dengan melibatkan Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon, sebelum menempuh jalur pengadilan.

Pada akhirnya, menjaga iklim kerja yang harmonis dan produktif menuntut komitmen bersama dari semua pihak untuk memahami, menghormati, dan menegakkan hak serta kewajiban masing-masing dalam bingkai hukum dan niat baik. Prosedur dan substansi tidak bisa dipisahkan—keduanya adalah fondasi keadilan dalam hubungan industrial yang sehat.

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *