CILEGON, RUBRIKBANTEN — Kota Cilegon dikenal luas sebagai pusat industri baja nasional, tempat di mana pabrik-pabrik raksasa berdiri megah dan mesin-mesin berputar tanpa henti. Namun di balik gemuruh industri dan aroma logam panas, ada denyut kehidupan spiritual yang tetap hidup — kehidupan para santri yang menebar kesejukan batin di tengah kerasnya modernitas.
Dalam esainya berjudul “Menjadi Santri di Kota Industri”, Rizal Arif Baihaqi, Ketua Forum Wartawan Kebudayaan (FORWARD), menggambarkan dengan indah bagaimana santri dan industri sesungguhnya tidak berseberangan. Mereka adalah dua kutub yang saling melengkapi, menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan.
“Menjadi santri di kota industri berarti memahami bahwa kemajuan tanpa moral adalah kehampaan, dan industri tanpa nilai adalah kehilangan arah,” tulis Rizal.
Pesantren di Cilegon, menurut Rizal, bukan sekadar tempat menimba ilmu agama. Ia adalah taman kebudayaan spiritual sumber tradisi, kesederhanaan, dan kebersamaan. Dari pesantren-pesantren inilah tumbuh berbagai ekspresi budaya Islam seperti marhabanan, hadroh, dan selametan kampung yang memperindah wajah masyarakat Cilegon.
Dalam kerasnya dunia industri, nilai-nilai santri menghadirkan kesejukan batin dan arah moral. Di pabrik, di ruang kerja, bahkan di balik meja wartawan semangat santri hidup dalam kejujuran, tanggung jawab, dan niat ibadah.
Rizal menegaskan, visi Cilegon Juare tidak akan berarti tanpa nilai kebudayaan dan akhlak. Juara sejati, katanya, bukan hanya pada investasi dan gedung tinggi, melainkan pada karakter dan iman warganya.
“Cilegon Juare yang berjiwa santri berarti kota yang kokoh membangun industri tanpa kehilangan nurani. Kota yang modern tapi tetap memuliakan doa,” ungkapnya.
Santri, dalam pandangan Rizal, adalah cermin dari generasi yang bisa berjalan di dua dunia berpikir modern, tapi tetap berpegang pada nilai.
Forum Wartawan Kebudayaan (FORWARD) mendorong sinergi antara pesantren, pelaku budaya, dan insan media. Bagi FORWARD, jurnalisme yang berjiwa santri adalah jurnalisme yang menulis dengan hati bukan sekadar mengejar sensasi, tapi menebar kebenaran dan kedamaian.
“Wartawan yang berjiwa santri menulis dengan tanggung jawab, memelihara kejujuran, dan menghadirkan suara bening di tengah hiruk-pikuk informasi,” tulis Rizal dalam refleksinya.
Menjadi santri di kota industri bukan hanya tentang sarung dan kitab kuning, tapi tentang sikap hidup — menjaga nurani di tengah kompetisi dan berzikir di antara deru mesin.
Cilegon, kata Rizal, membutuhkan lebih banyak santri dalam arti luas: santri yang jujur di pabrik, amanah dalam kepemimpinan, dan bijaksana dalam tulisan. Selama nilai-nilai santri terus hidup, Cilegon tidak akan kehilangan jiwanya.
“Selama masih ada santri yang menghidupkan nilai kebaikan di tanah Cilegon, selama itu pula kota ini akan tetap berjiwa,” pungkas Rizal.
Rizal Arif Baihaqi, sejak kecil menimba ilmu agama di Pondok Pesantren Yayasan Darussalam Pipitan, Serang, dan telah khatam Al-Qur’an pada usia 8 tahun. Kini ia memimpin Forum Wartawan Kebudayaan (FORWARD) dengan semangat menghubungkan nilai-nilai santri, budaya, dan kemajuan zaman menjadikan jurnalisme sebagai ladang dakwah dan kebudayaan.















