CILEGON, RUBRIKBANTEN – Geger Cilegon 1888, sebuah peristiwa heroik yang mengguncang tanah Banten, kembali digaungkan lewat peringatan Haul Syuhada di Alun-Alun Kota Cilegon, Rabu (9/7/2025). Momentum ini bukan sekadar mengenang pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda, tetapi juga meneguhkan kembali jati diri masyarakat Cilegon sebagai pewaris perjuangan.
Dipimpin oleh para ulama karismatik seperti KH Wasid, KH Tubagus Ismail, dan KH Abdul Karim, perlawanan rakyat Cilegon pada masa itu mencerminkan semangat jihad melawan penindasan, ketidakadilan, dan upaya penjajahan terhadap akidah serta budaya lokal.
Meski akhirnya dipadamkan oleh militer Belanda, Geger Cilegon dikenang sebagai perlawanan rakyat yang paling terorganisir, berbasis keagamaan, dan berdampak luas terhadap pergerakan nasional.
Ketua Umum Dewan Kebudayaan Kota Cilegon, Ayatullah Khumaeni, menegaskan pentingnya menjadikan peringatan ini sebagai agenda tetap dan refleksi kolektif.
“Geger Cilegon bukan sekadar catatan kelam pemberontakan, tapi adalah warisan nilai: keberanian, solidaritas, dan keteguhan iman. Peringatan ini penting agar generasi muda tahu bahwa mereka berdiri di atas tanah perjuangan,” tegasnya.
Dewan Kebudayaan memuji rangkaian kegiatan haul seperti istighosah, santunan yatim, dan tausiyah sebagai bentuk aktualisasi nilai perjuangan dalam konteks kekinian. Melalui pendekatan spiritual dan budaya, semangat Geger Cilegon dibumikan kembali untuk menjawab tantangan zaman.
“Ini bukan soal masa lalu semata. Ini tentang kesadaran sejarah, penguatan identitas, dan penanaman nilai kebangsaan di tengah generasi muda,” tambah Ayatullah.
Dewan Kebudayaan mendorong agar peringatan Geger Cilegon menjadi agenda budaya tahunan yang dikelola secara kolaboratif oleh pemerintah, budayawan, tokoh agama, dan komunitas. Tujuannya jelas: mengokohkan narasi sejarah lokal sebagai bagian tak terpisahkan dari konstruksi kebangsaan Indonesia.















