CILEGON, RUBRIKBANTEN – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru tentang pemisahan pemilu pusat dan daerah menjadi sorotan tajam kalangan akademisi dan pengamat politik. Salah satunya, pengamat demokrasi dan politik nasional, Syaiful Bahri, yang menilai putusan ini sebagai “fine line” atau garis batas penting yang wajib dipatuhi seluruh pihak.
“Putusan MK ini adalah batas tegas. Ini harus dilaksanakan, tidak bisa ditawar-tawar,” tegas Syaiful.
Menurutnya, keputusan MK telah membagi dua segmen besar dalam penyelenggaraan pemilu, yakni pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional yang mencakup pemilihan Presiden, DPR RI, dan DPD akan dilakukan terlebih dahulu. Setelah pelantikan para pejabat hasil pemilu nasional, barulah dua tahun kemudian dilaksanakan pemilu daerah secara serentak.
“Pemilu daerah itu meliputi pemilihan Gubernur, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati, dan Wakil Bupati. Jadi ini dua panggung besar demokrasi yang benar-benar dipisahkan,” jelasnya.
Namun, dampak dari keputusan ini tidak sekadar teknis penyelenggaraan. Syaiful menegaskan, implikasinya sangat luas, terutama terhadap regulasi yang berlaku. Setidaknya, ada empat undang-undang besar yang harus direvisi, yakni:
- Undang-Undang Pemilu,
- Undang-Undang Penyelenggara Pemilu,
- Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3),
- Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
“Empat undang-undang itu harus segera dikaji ulang dan disesuaikan. Ini pekerjaan besar bagi DPR RI bersama pemerintah,” ujarnya.
Syaiful menekankan bahwa tantangan ke depan bukan hanya teknis, tetapi juga memastikan sinkronisasi antara regulasi dan pelaksanaan di lapangan, agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat maupun penyelenggara.
“Demokrasi kita sedang bertransformasi besar-besaran. Tapi jangan sampai transformasi ini justru menciptakan kekacauan baru,” pungkasnya. (*)















