CILEGON, RUBRIKBANTEN – Jagat media sosial digegerkan dengan beredarnya video aksi unjuk rasa yang melibatkan empat anggota DPRD Kota Cilegon di kawasan proyek PT Lotte Chemical Indonesia (LCI), Oktober 2024 lalu. Ironisnya, aksi yang seharusnya mencerminkan aspirasi rakyat itu justru disinyalir bermuatan kepentingan pribadi dan dugaan permintaan proyek.
Keempat legislator yang terekam dalam video dan foto aksi tersebut adalah SB dari PPP, BR dari PAN, AR dari Golkar, dan FMR dari Demokrat. Mereka tidak hanya hadir di lokasi, namun terlihat naik ke atas mobil komando dan terlibat aktif dalam mediasi antara massa aksi dengan pihak PT LCI dan KINE.
Aksi unjuk rasa ini memunculkan tanda tanya besar. Berdasarkan dokumen notulensi yang beredar dari pertemuan antara massa dan manajemen PT Lotte, diketahui bahwa tuntutan mereka mencakup rekrutmen tenaga kerja, peluang usaha bagi pengusaha lokal, serta pengelolaan limbah scrap—isu-isu yang kerap dijadikan “pintu masuk” untuk negosiasi proyek.
Tak berhenti di situ, suasana aksi juga diwarnai tindakan provokatif, seperti pendorongan pagar dan orasi bernada intimidatif yang terekam jelas dalam video viral. Ini menambah kecurigaan publik bahwa unjuk rasa tersebut tidak murni memperjuangkan kepentingan masyarakat, melainkan sarat dengan tekanan agar mendapat akses proyek.
Fenomena ini bukan kali pertama terjadi di Cilegon. Sebelumnya, publik juga sempat dihebohkan dengan dugaan intimidasi oleh sejumlah oknum pengurus KADIN Kota Cilegon terhadap proyek PT Chandra Asri Alkali, yang juga diduga berkaitan dengan perebutan “jatah proyek”.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari partai politik tempat para legislator tersebut bernaung. Sikap diam partai membuat spekulasi semakin liar dan menambah keraguan atas integritas wakil rakyat di kota industri ini.
Publik kini menanti langkah tegas dari Badan Kehormatan DPRD maupun aparat penegak hukum untuk mengusut keterlibatan para anggota dewan dalam aksi yang diduga sarat konflik kepentingan tersebut. Jika benar terbukti, ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan indikasi pembusukan sistem representasi rakyat di level lokal.















