SERANG, RUBRIKBANTEN – Proyek pengadaan website desa di Kabupaten Serang yang dikelola oleh PT Wahana Semesta Multimedia Banten (WSMB) tengah menjadi sorotan. Dugaan praktik monopoli hingga korupsi semakin menguat setelah vendor tersebut dilaporkan ke Polda Banten pada Jumat (21/2/2025) dengan Nomor Laporan Pengaduan 05/LP-M/2/2025.
Pelapor menilai harga pengadaan website desa yang mencapai hampir Rp 100 juta per desa tidak masuk akal jika dibandingkan dengan standar biaya pembuatan website di Indonesia. Tak hanya itu, banyak desa mengeluhkan bahwa website yang telah dibayar sulit diakses dan tidak memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.
“Ini tak boleh dibiarkan karena sudah menguras dana desa tanpa manfaat jelas. Website yang mereka buat sulit diakses, sementara uang yang dikeluarkan sangat besar,” ujar pelapor yang enggan disebutkan namanya.
Bukti transfer pembayaran dari beberapa desa menunjukkan bahwa proyek ini dilakukan dalam dua tahap, yakni Rp 37 juta untuk tahap pertama dan Rp 55 juta untuk tahap kedua, ditambah biaya maintenance dan hosting Rp 5 juta per tahun. Total anggaran yang dikeluarkan ratusan desa di Kabupaten Serang pun mencapai miliaran rupiah.
Indikasi Korupsi dan Monopoli Kian Menguat
Selain dugaan markup harga, indikasi monopoli semakin mencuat setelah Direktur PT WSMB, Mashudi, mengaku sebagai inisiator proyek ini. Dalam sebuah wawancara dengan media, ia menyebut bahwa pihaknya meminta Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Serang untuk mengarahkan desa-desa agar mengikuti program ini.
Menurut Saipul Arifin, Ketua Forum Mahasiswa Anti Tertindas (FORMAT) Banten, langkah tersebut jelas menunjukkan adanya intervensi pihak swasta dalam kebijakan pemerintah desa yang seharusnya melalui mekanisme lelang terbuka.
“Mashudi secara terang-terangan mengakui bahwa PT WSMB meminta DPMD untuk menawarkan proyek ini ke desa-desa. Ini jelas bentuk pengondisian proyek agar hanya satu pihak yang diuntungkan,” ujar Saipul.
Lebih parahnya lagi, Mashudi mengklaim bahwa website ini mencakup layanan administrasi surat-menyurat dan database kependudukan, padahal ia sendiri mengakui bahwa sistem pengelolaan data tersebut belum mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri.
“Jika belum ada izin, mengapa proyek ini dipaksakan? Apakah ini hanya akal-akalan untuk menghabiskan anggaran desa?” tambahnya.
Desa-Desa Dipaksa, Layanan Tak Sesuai Janji
Tak hanya soal harga yang tak wajar, skema pembayaran proyek ini juga mencurigakan. Beberapa desa mengaku harus membayar penuh sebelum bisa mengakses layanan website yang dijanjikan, dan bahkan beberapa desa kesulitan menggunakan layanan tersebut.
Sejumlah kepala desa menyebut bahwa mereka lebih memilih membuat website sendiri dengan biaya jauh lebih murah. Ini semakin menguatkan dugaan bahwa proyek ini lebih banyak menguntungkan pihak tertentu ketimbang memberikan manfaat nyata bagi desa.
“Jika proyek ini benar untuk kemajuan desa, mengapa banyak desa justru kesulitan menggunakannya? Ataukah ini hanya proyek bancakan dengan kedok digitalisasi?” cetus Saipul.
Dengan semakin banyaknya indikasi penyimpangan, masyarakat dan aktivis meminta aparat penegak hukum, termasuk KPK, untuk turun tangan mengusut tuntas kasus ini.
“Kami berharap Kapolda Banten Irjen. Pol. Suyudi Ario Seto bertindak tegas tanpa kompromi terhadap siapa pun yang terbukti terlibat dalam penggasakan uang rakyat ini,” tegas pelapor. (*/RB)















