Oleh Arifin Al Bantani
Akhir tahun sering kali menjadi ruang jeda bagi manusia untuk menilai ulang perjalanan hidupnya. Di tengah kebiasaan merangkum capaian dan kegagalan, refleksi spiritual kerap terpinggirkan oleh ukuran-ukuran material. Dalam konteks inilah Hizib Bahar menemukan relevansinya, bukan semata sebagai bacaan wirid, tetapi sebagai medium perenungan batin yang mendalam terhadap arah hidup dan kualitas relasi manusia dengan Tuhan.
Hizib Bahar mengandung dimensi perlindungan dan penyerahan diri yang kuat. Lantunannya menghadirkan kesadaran bahwa manusia, betapapun sibuk dan merasa berdaya, tetap berada dalam keterbatasan. Perlindungan Ilahi yang dimohonkan tidak hanya menyasar ancaman fisik, melainkan juga bahaya yang lebih halus: kelalaian moral, kesombongan intelektual, dan kekeringan spiritual. Pada titik ini, Hizib Bahar berfungsi sebagai pengingat bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada dominasi, melainkan pada kerendahan hati.
Refleksi akhir tahun bersama Hizib Bahar menggeser orientasi evaluasi dari sekadar “apa yang telah dicapai” menuju “ke mana arah hidup diarahkan”. Pertanyaan tentang keberhasilan dan kegagalan menjadi kurang penting dibanding pertanyaan tentang nilai. Apakah perjalanan setahun terakhir mempertebal kepekaan sosial? Apakah kekuasaan, pengetahuan, dan posisi digunakan untuk melayani atau justru memperlebar jarak dengan sesama? Hizib Bahar, dengan irama tawakalnya, membantu menata ulang pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut.
Selain itu, Hizib Bahar mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Doa tidak dimaknai sebagai pelarian dari tanggung jawab, melainkan sebagai kesadaran akan batas kemampuan manusia. Kegagalan dipahami sebagai bagian dari proses pembelajaran, sementara keberhasilan diposisikan sebagai ujian etis. Dengan demikian, refleksi akhir tahun tidak berhenti pada penyesalan atau euforia, tetapi berlanjut pada pembentukan sikap yang lebih matang dalam menyikapi masa depan.
Menutup tahun dengan Hizib Bahar juga berarti membuka tahun baru dengan kesiapan batin. Harapan yang dibangun bukanlah tentang ketiadaan masalah, melainkan tentang keteguhan moral dan kejernihan niat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan. Di tengah perubahan zaman yang cepat dan sering kali membingungkan, orientasi spiritual semacam ini menjadi jangkar yang menjaga manusia agar tidak kehilangan arah.
Pada akhirnya, refleksi akhir tahun bersama Hizib Bahar menegaskan bahwa pergantian waktu hanyalah penanda, bukan jaminan perubahan. Perubahan sejati bergantung pada kesediaan manusia untuk terus bercermin, memperbaiki diri, dan menjaga kesadaran akan posisinya sebagai hamba. Dalam kesadaran itulah, tahun yang baru tidak sekadar menjadi lanjutan waktu, tetapi peluang untuk menumbuhkan kehidupan yang lebih bermakna.
Terima kasih, wahai Alam Semesta,
kitab terbuka yang tak selesai dibaca,
huruf-hurufmu ditulis oleh cahaya
dan dibaca oleh sunyi.
Terima kasih Matahari,
lentera tua yang setia,
menyusui pagi dengan terang
tanpa pernah bertanya
siapa yang pantas menerima.
Terima kasih Bumi,
ibu yang sabar,
rahimmu menumbuhkan luka dan doa
dalam satu napas yang sama.
Terima kasih Langit,
kubah biru tempat rindu digantungkan,
di sanalah doa belajar terbang
tanpa sayap.
Terima kasih Udara,
napas tak bernama
yang keluar-masuk dada
seperti rahasia
antara hamba dan Yang Maha Dekat.
Terima kasih Air,
cermin yang selalu jujur,
dan Laut,
kedalaman yang menelan
nama dan bentuk.
Terima kasih Api,
guru yang keras namun adil,
membakar hingga keangkuhan
menjadi abu yang ringan.
Terima kasih Gunung,
penjaga diam,
yang mengajarkan
bahwa ketinggian sejati
tak butuh sorak.
Di hadapanmu,
kami hanyalah pejalan
dengan kantong doa yang bocor,
sering lupa arah
namun tak pernah benar-benar ditinggalkan.
Maka terima kasih ini
adalah sajak yang pulang,
dari debu kepada cahaya,
dari nama kepada makna,
dari aku
kepada Engkau.















