Oleh: Arifin Al Bantani
Abstrak
Tradisi nadran atau sedekah laut merupakan praktik budaya masyarakat pesisir yang berfungsi sebagai medium ekspresi religius, penguatan solidaritas sosial, sekaligus refleksi kesadaran ekologis. Di pesisir Kota Cilegon, tradisi ini tetap bertahan di tengah tekanan industrialisasi dan modernisasi wilayah pesisir.
Tulisan ini bertujuan meninjau tradisi nadran di Cilegon dari perspektif sosio-religius dan kultural dengan pendekatan antropologi budaya dan sosiologi agama. Analisis difokuskan pada makna simbolik, fungsi sosial, serta tantangan dan transformasi kontemporer yang dihadapi tradisi ini dalam mempertahankan relevansinya di era modern.
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan keragaman tradisi pesisir yang hidup dan dinamis. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah nadran atau sedekah laut. Tradisi ini berkembang di berbagai kawasan pantai di Pulau Jawa, termasuk di pesisir Kota Cilegon, Provinsi Banten. Nadran tidak semata dipahami sebagai ritus adat, melainkan sebagai pranata sosial yang merefleksikan relasi harmonis antara manusia, Tuhan, alam, dan komunitasnya.
Menariknya, keberlangsungan nadran di Cilegon berlangsung di tengah karakter kota yang identik dengan kawasan industri strategis nasional. Kondisi ini menghadirkan dialektika antara tradisi lokal yang berbasis nilai komunal dengan perubahan sosial modern yang cenderung rasional dan instrumental.
Oleh karena itu, tradisi nadran di Cilegon menjadi penting untuk dikaji sebagai bentuk resistensi kultural sekaligus adaptasi sosial masyarakat pesisir.
Kerangka Teoretis
Kajian ini berpijak pada pendekatan antropologi simbolik dan sosiologi agama. Clifford Geertz memandang ritual sebagai sistem simbol yang membentuk dan memberi makna pada pengalaman hidup masyarakat. Sementara itu, Emile Durkheim menegaskan bahwa ritual kolektif berfungsi memperkuat solidaritas sosial dan identitas komunal.
Dengan kerangka tersebut, tradisi nadran dipahami bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan sebagai konstruksi makna yang hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat nelayan. Ritual ini menjadi medium artikulasi nilai religius, etika sosial, dan pandangan kosmologis masyarakat pesisir terhadap alam laut.
Tradisi Nadran di Pesisir Kota Cilegon
Bagi masyarakat pesisir Cilegon, khususnya komunitas nelayan tradisional, nadran merupakan ungkapan rasa syukur atas limpahan rezeki laut sekaligus doa keselamatan dalam menjalani aktivitas melaut. Tradisi ini umumnya dilaksanakan setahun sekali berdasarkan kesepakatan komunitas nelayan dan tokoh adat setempat.
Rangkaian kegiatan nadran meliputi persiapan sedekah, pembacaan doa dan tahlil, pelarungan simbolik ke laut, serta kegiatan sosial seperti makan bersama dan hiburan rakyat. Keseluruhan prosesi ini mencerminkan kuatnya nilai gotong royong dan kebersamaan yang menjadi fondasi kehidupan sosial masyarakat pesisir.
Makna dan Fungsi Tradisi Nadran
1. Makna Religius
Nadran merepresentasikan internalisasi nilai-nilai Islam dalam bingkai budaya lokal. Doa, tahlil, dan sedekah yang mengiringi ritual menegaskan keyakinan bahwa laut bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan ciptaan Tuhan yang harus dihormati. Dengan demikian, nadran berfungsi sebagai media penguatan kesadaran teologis dan spiritual masyarakat pesisir.
2. Fungsi Sosial
Secara sosiologis, nadran menjadi sarana memperkuat solidaritas dan kohesi sosial. Proses gotong royong sejak tahap persiapan hingga pelaksanaan menciptakan ruang interaksi yang egaliter dan mempererat hubungan antarwarga, sekaligus meredam potensi konflik sosial di lingkungan pesisir.
3. Dimensi Ekologis
Pelarungan simbolik ke laut mengandung pesan moral tentang keseimbangan relasi manusia dan alam. Tradisi ini menegaskan bahwa manusia tidak hanya berhak mengambil sumber daya laut, tetapi juga memiliki kewajiban etis untuk menjaga kelestariannya. Nilai ekologis ini menjadi sangat relevan di tengah tekanan industrialisasi dan eksploitasi pesisir Cilegon.
4. Identitas Kultural
Nadran berfungsi sebagai penanda identitas budaya masyarakat pesisir yang membedakan mereka dari komunitas urban-industrial di sekitarnya. Melalui ritual ini, memori kolektif lintas generasi dijaga dan diwariskan, sehingga identitas kultural masyarakat nelayan tetap hidup di tengah arus homogenisasi budaya.
Tantangan dan Transformasi Kontemporer
Modernisasi, perubahan orientasi ekonomi, serta penetrasi nilai-nilai rasional-instrumental menjadi tantangan serius bagi keberlanjutan tradisi nadran. Sebagian generasi muda mulai memandangnya sebagai ritual simbolik yang kehilangan makna substantif.
Namun demikian, tradisi ini juga mengalami proses adaptasi. Penguatan aspek doa, edukasi lingkungan, serta pengemasan nadran sebagai agenda budaya daerah menunjukkan bahwa tradisi bersifat dinamis dan kontekstual. Transformasi ini menjadi strategi kultural untuk menjaga relevansi nadran tanpa melepaskan akar religius dan nilai lokalnya.
Penutup
Tradisi nadran di pesisir Kota Cilegon merupakan praktik budaya yang sarat makna religius, sosial, dan ekologis. Di tengah gempuran industrialisasi dan modernisasi, tradisi ini tetap relevan sebagai medium pelestarian nilai-nilai lokal dan solidaritas komunitas nelayan.
Oleh karena itu, nadran layak dipandang sebagai warisan budaya takbenda yang perlu dilestarikan melalui pendekatan edukatif dan partisipatif.
Pelestarian ini penting bukan hanya untuk menjaga tradisi, tetapi juga sebagai upaya mempertahankan kearifan lokal masyarakat pesisir dalam merawat relasi harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam.















