CILEGON, RUBRIKBANTEN – Di tengah gemuruh mesin industri dan kilau baja yang mendominasi langit Kota Cilegon, berdiri sebuah ruang kecil yang menyimpan getar kebudayaan besar. Namanya Padepokan Wong Paleng, sebuah tempat sederhana namun sarat makna yang digagas oleh Kang Saiful, seorang pegiat budaya lokal di Link. Cidunak, Bendungan, Cilegon.
Bukan di aula megah atau ruang ber-AC, melainkan di gubug bambu sederhana, dikelilingi kandang ayam dan rindangnya pohon belimbing wuluh. Di sanalah, denyut kebudayaan Cilegon yang lama terpinggirkan justru menemukan ruang untuk bernapas kembali.
Semangat “Wong Paleng” dan Filsafat Lupa yang Mengingatkan
Nama “Wong Paleng”, yang berarti orang yang lupa atau bingung, bukanlah pilihan tanpa makna. Menurut Kang Saiful, istilah ini merupakan bentuk refleksi atas kondisi masyarakat Cilegon yang perlahan melupakan akar budayanya di tengah derasnya arus industrialisasi.
“Kami percaya bahwa ‘melupakan’ adalah langkah pertama untuk ‘mengingat’ kembali. Di padepokan ini, kita belajar untuk bingung bersama, mencari kembali nilai-nilai luhur yang pernah kita abaikan,” ujar Saiful, Selasa (4/11/2025) dini hari.
Melalui semangat itu, Kang Saiful mengajak seniman, budayawan, akademisi, hingga penulis muda untuk berdiskusi, berekspresi, dan menyalakan kembali bara kebudayaan lokal yang kerap tertutup abu modernitas.
Diskusi di Bawah Pohon Belimbing Wuluh
Setiap diskusi di Padepokan Wong Paleng berlangsung dalam suasana yang hangat dan alami. Di bawah naungan pohon belimbing wuluh, diiringi suara ayam berkokok dan gesekan angin di dinding bambu, percakapan-percakapan penting tentang kebudayaan lokal mengalir tanpa sekat.
Topik yang dibahas pun beragam dan relevan dengan kehidupan masyarakat Cilegon hari ini, antara lain:
- Pergeseran Nilai Gotong Royong, dari budaya tolong-menolong menuju budaya transaksional.
- Nasib Kesenian Lokal, seperti Ubrug dan Pencak Silat yang mulai kehilangan penonton muda.
- Literasi dan Historiografi Cilegon, agar sejarah dan identitas kota tidak hilang ditelan modernitas.
Para pegiat budaya menyebut padepokan ini sebagai “laboratorium gagasan” ruang di mana kata, ide, dan keberanian tumbuh bersama, tanpa hierarki, tanpa formalitas.
Sebuah Simbol Perlawanan yang Membumi
Lebih dari sekadar tempat berkumpul, Padepokan Wong Paleng adalah bentuk perlawanan kultural yang membumi. Ia membuktikan bahwa kebudayaan tak selalu lahir dari gedung pertunjukan megah, melainkan bisa tumbuh di tengah kehidupan sehari-hari masyarakat.
Inisiatif Kang Saiful menjadi pengingat bahwa Cilegon bukan hanya kota baja, tetapi juga kota jiwa dan narasi. Bahwa kekuatan sejati sebuah kota tak hanya diukur dari produksi industrinya, melainkan dari kemampuannya menjaga nilai, ingatan, dan kemanusiaan.
Harapannya, padepokan ini tak berhenti sebagai ruang diskusi, melainkan menjadi sumber lahirnya karya seni, riset budaya, dan kolaborasi nyata dengan pemerintah maupun komunitas lainnya.
Karena pada akhirnya, fondasi sejati sebuah kota bukanlah baja dan beton, melainkan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi nilai yang kini tumbuh kembali dari sebuah gubug bambu di Bendungan, Cilegon















