CILEGON, RUBRIKBANTEN – Angka kekerasan seksual terhadap anak di Kota Cilegon kian mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Cilegon, sepanjang tahun 2024 tercatat 32 kasus kekerasan seksual, didominasi oleh persetubuhan terhadap anak dengan total 20 kasus. Lebih mengejutkan lagi, hingga periode Januari–September 2025, sudah tercatat 31 kasus serupa dengan 36 pelaku yang berhasil diamankan.
“Korban rata-rata anak di bawah umur, berkisar usia 14 hingga 17 tahun. Untuk usia 14–15 tahun, kebanyakan merupakan korban sodomi,” ungkap Kanit PPA Polres Cilegon, IPDA Yuly Meliana, Senin (13/10/2025) kemarin.
Yuly menjelaskan, pelaku berasal dari berbagai latar belakang mulai dari dewasa hingga anak-anak namun mayoritas adalah orang dewasa. Mirisnya, sebagian besar pelaku mengaku terpengaruh oleh konten pornografi dan media sosial.
“Banyak pelaku yang terinspirasi dari video di TikTok dan platform lain. Bahkan ada yang meniru perilaku menyimpang dari konten homo yang mereka tonton. Sekarang, penyimpangan seksual seperti ini sedang meningkat,” bebernya.
Yuly menilai, lemahnya pengawasan orang tua terhadap penggunaan gawai menjadi celah besar bagi anak-anak untuk mengakses konten berbahaya.
“Di luar negeri mungkin dianggap biasa, tapi di sini jelas merupakan kelainan seksual yang berbahaya. Anak-anak ini belum memahami dampaknya,” tegasnya.
Untuk memulihkan kondisi psikologis korban, Polres Cilegon terus berkoordinasi dengan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak dalam memberikan pendampingan serta konseling.
“Psikolog dari UPTD ikut terlibat agar anak-anak korban ini bisa pulih secara mental dan tidak trauma berkepanjangan,” tambahnya.
Sementara itu, lonjakan kasus ini memantik keprihatinan mendalam dari kalangan aktivis perempuan muda.
Ketua Sarinah GMNI Cilegon, Novi Hani Safitri, menilai bahwa maraknya kasus kekerasan seksual anak adalah cerminan lemahnya sistem pengawasan sosial di Cilegon baik di keluarga, sekolah, maupun ruang digital.
“Ini bukan hanya soal moral pelaku, tapi juga kegagalan sistem pengawasan kita. Anak-anak terlalu mudah mengakses konten porno dan kekerasan tanpa kontrol,” ujarnya, Selasa (14/10/2025).
Ia mendesak agar Pemerintah Kota Cilegon membentuk tim lintas sektor melibatkan Dinas Pendidikan, DP3AP2KB, DPRD, dan kepolisian untuk menangani masalah ini secara terpadu.
“Ini darurat sosial. Jangan tunggu korban bertambah,” tegas Hani.
Hal senada disampaikan Sekretaris Sarinah GMNI Cilegon, Winda Aini Rohmah, yang menyoroti minimnya edukasi seksualitas dan literasi digital di sekolah-sekolah.
“Banyak anak tahu soal seks dari media sosial, bukan dari pendidikan yang benar. Kurikulum kita perlu memasukkan pendidikan seksualitas dasar dan etika digital,” ujarnya.
Sebagai langkah nyata, Sarinah GMNI berencana menggelar kampanye kesadaran digital dan perlindungan anak di sekolah dan komunitas. Kegiatan ini akan melibatkan mahasiswa, aktivis perempuan, serta lembaga pendidikan.
“Kita tidak bisa diam. GMNI akan turun langsung memberikan penyadaran supaya anak-anak terlindungi dari bahaya kekerasan dan media destruktif,” tambah Hani.
Sarinah GMNI menegaskan, maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Cilegon harus menjadi peringatan keras bagi seluruh pihak.
“Kita sedang mempertaruhkan masa depan generasi muda. Kalau hari ini kita abai, besok yang rusak bukan hanya moral, tapi juga harapan,” pungkas Hani dengan nada tegas.















