Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BeritaDaerahKementerianKota CilegonNasionalOrganisasiPemerintahPendidikanPolitikSosial

Sumpah Pemuda dan Krisis Akar: Saat Generasi Muda Harus Kembali Menjadi Penjaga Ruh Kebudayaan

83
×

Sumpah Pemuda dan Krisis Akar: Saat Generasi Muda Harus Kembali Menjadi Penjaga Ruh Kebudayaan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rizal Arif Baihaqi
Ketua Forum Wartawan Kebudayaan

Setiap tahun, tanggal 28 Oktober selalu datang dengan aroma yang berbeda. Ia bukan sekadar hari peringatan, tetapi hari perenungan nasional saat kita menengok kembali masa ketika sekumpulan anak muda pada tahun 1928 berdiri tegak, berikrar menyatukan nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia.

Mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Kalimantan namun di tengah perbedaan itu, mereka melihat sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri: Indonesia.

Sumpah Pemuda bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga peristiwa kebudayaan. Ia lahir dari kesadaran bahwa kebersamaan dalam keberagaman adalah inti dari jiwa bangsa ini. Para pemuda kala itu tidak sekadar memimpikan kemerdekaan dari penjajahan fisik, tetapi juga pembebasan dari belenggu mental kolonialisme, dari rasa rendah diri terhadap bangsanya sendiri. Dengan satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, mereka menegakkan pondasi jati diri nasional yang berakar pada kebudayaan lokal.

Kebudayaan: Akar yang Menumbuhkan Bangsa

Kita sering memahami kebudayaan hanya sebatas yang tampak di permukaan tari, batik, musik, atau kuliner tradisional. Padahal kebudayaan jauh lebih dalam dari itu. Ia adalah cara berpikir, cara merasa, dan cara berperilaku suatu masyarakat.

Kebudayaan adalah sistem nilai yang mengatur bagaimana manusia memandang dirinya, sesamanya, dan alam semesta. Ia tumbuh dari pengalaman kolektif, sejarah panjang, dan pergulatan manusia dengan lingkungannya.

Namun hari ini, kebudayaan menghadapi tantangan baru. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, nilai-nilai lokal kerap tersisih oleh budaya instan dan gaya hidup serba cepat. Generasi muda kini hidup dalam dunia yang dihubungkan oleh algoritma, bukan oleh nilai. Banyak yang lebih mengenal budaya Korea atau Barat daripada tradisi leluhurnya sendiri.

Tidak ada yang salah dengan keterbukaan terhadap budaya asing. Yang menjadi persoalan adalah ketika keterbukaan itu menghapus identitas. Di sinilah peran pemuda menjadi sangat penting bukan hanya sebagai penerus bangsa, tetapi sebagai penjaga ruh kebudayaan.

Baca juga:  Banten Kirim Prajurit Tangguh ke Cibubur: Pramuka Berkebutuhan Khusus Siap Harumkan Nama Daerah di Ajang Nasional

Pemuda dan Krisis Akar

Pemuda adalah usia yang paling dinamis dalam sejarah manusia masa pencarian, masa gelisah, masa di mana segala sesuatu terasa mungkin. Namun kini, mereka menghadapi krisis identitas: antara keinginan untuk menjadi global dan kebutuhan untuk tetap lokal.

Kita hidup di zaman di mana kecepatan lebih dihargai daripada kedalaman. Segalanya serba cepat berita, tren, bahkan cita-cita. Dalam derasnya arus informasi, banyak pemuda kehilangan waktu untuk merenung dan memahami makna dirinya sendiri.

Padahal tanpa akar kebudayaan, pemuda hanya akan menjadi daun yang beterbangan, mengikuti arah angin zaman.
Seorang filsuf pernah berkata, “Bangsa yang melupakan budayanya adalah bangsa yang kehilangan masa depan.”

Demikian pula pemuda: jika tercerabut dari akar kebudayaan bangsanya, maka masa depan bangsa akan rapuh.
Tugas generasi muda hari ini bukan hanya mencari tempat dalam ekonomi dan teknologi, tetapi juga menemukan maknanya dalam kebudayaan.

Menjadi Pilar Kebudayaan

Menjadi pilar kebudayaan bukan berarti harus menjadi seniman atau budayawan.
Menjadi pilar kebudayaan berarti menjadi manusia yang berakar dan berkarakter.

Mereka yang menegakkan nilai kejujuran, solidaritas, gotong royong, dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebudayaan bukan benda mati yang bisa dipamerkan ia adalah laku hidup: cara kita memperlakukan sesama, menghormati perbedaan, dan menjaga alam.

Pemuda dapat menghidupkan kebudayaan dalam berbagai cara:

  • Menulis dan berkarya untuk menyalakan obor kesadaran di tengah kegelapan zaman.
  • Menjaga bahasa dan sastra daerah agar tidak punah.
  • Menghidupkan tradisi lokal bukan untuk romantisme masa lalu, tetapi memberi makna baru di masa kini.
  • Berinovasi dalam seni dan teknologi tanpa kehilangan nilai kemanusiaan.
Baca juga:  Pemkot Cilegon Siapkan Rp10 Miliar untuk Program Makan Bergizi Gratis, Dukung Penuh Program Presiden Prabowo dan Wapres Gibran

Sebab kebudayaan tidak diwariskan secara otomatis  ia hanya hidup bila dihidupkan kembali oleh generasi muda.

Menjadi Pemuda yang Berakar dan Bertumbuh

Pemuda yang berakar tidak berarti menolak modernitas.

Justru ia memahami modernitas dengan kebijaksanaan lokal.

Ia menggunakan teknologi untuk memperluas nilai, bukan menghapusnya.
Ia berjejaring dengan dunia, tetapi tetap berpijak di tanah tempat ia lahir.

Seperti pohon yang kokoh, pemuda harus tumbuh tinggi menjulang, namun akarnya menancap kuat di bumi tempatnya berasal.
Kita memerlukan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara kultural dan spiritual.

Generasi yang tidak hanya fasih berbicara tentang masa depan, tetapi juga mampu mendengarkan bisikan masa lalu.
Di sanalah letak keseimbangan sejati: antara tradisi dan inovasi, antara yang lama dan yang baru.

Sumpah Pemuda yang Diperbarui

Maka ketika kita memperingati Sumpah Pemuda hari ini, sudah sepatutnya kita menambahkan satu ikrar baru di dalam hati:

“Kami, Pemuda Indonesia, bersumpah untuk menjunjung tinggi kebudayaan bangsa sebagai jati diri dan masa depan negeri.”

Sebab tanpa kebudayaan, kemerdekaan kehilangan arah. Tanpa nilai, kemajuan hanyalah kekosongan. Dan tanpa akar, segala pencapaian akan mudah tumbang.

Menjadi pemuda Indonesia hari ini bukan soal siapa yang paling cepat beradaptasi, tetapi siapa yang paling teguh menjaga nilai. Sebab bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling kaya, melainkan bangsa yang paling tahu dari mana ia berasal dan ke mana ia hendak melangkah.

Dan di antara sekian banyak harapan bangsa,di pundak para pemudalah tiang-tiang kebudayaan itu berdiri menyangga langit peradaban agar tidak runtuh, meneduhkan manusia agar tidak kehilangan arah, dan menyalakan api kebangsaan agar tidak padam di tengah gelapnya zaman.

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *