Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BantenBeritaDaerahKabupaten LebakKabupaten SerangKota CilegonKota SerangKota TangerangNasionalPemerintah

Society 5.0: Teknologi Canggih, Tetapi Mampukah Ia Menghapus Ketimpangan Gender?

119
×

Society 5.0: Teknologi Canggih, Tetapi Mampukah Ia Menghapus Ketimpangan Gender?

Sebarkan artikel ini

SERANG, RUBRIKBANTEN – Society 5.0, konsep yang dicetuskan Jepang, menawarkan visi revolusioner dengan memadukan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big data untuk menciptakan kesejahteraan manusia secara holistik. Namun, di tengah optimisme, tantangan mendasar muncul: akankah Society 5.0 mampu melampaui batasan struktural dan kultural yang selama ini menciptakan ketidaksetaraan gender, atau justru memperkuatnya?

Teknologi sering dipuji sebagai alat pembebas. Global Gender Gap Report (2023) dari World Economic Forum menunjukkan bahwa perkembangan teknologi telah membuka peluang baru bagi perempuan, terutama melalui platform pembelajaran daring yang memungkinkan akses pendidikan bagi perempuan di daerah terpencil. Ekonomi digital melalui platform seperti Upwork dan Shopee juga memberikan perempuan kesempatan menjalankan usaha secara mandiri, melampaui batas geografis dan bias pasar tenaga kerja konvensional.

Namun, teknologi tidak selalu netral. Penelitian Joy Buolamwini dan Timnit Gebru (2018) mengungkapkan bahwa bias sistem kecerdasan buatan kerap merugikan perempuan, terutama perempuan kulit berwarna. Misalnya, teknologi pengenalan wajah memiliki tingkat kesalahan yang jauh lebih tinggi untuk kelompok ini dibandingkan laki-laki kulit putih. Bias data yang tidak inklusif hanya mereplikasi ketidakadilan yang ada, seperti kasus algoritma rekrutmen Amazon pada 2018, yang secara tidak langsung mendiskriminasi pelamar perempuan akibat “pembelajaran” dari data historis yang bias terhadap laki-laki.

Baca juga:  Jalur Sejarah Daendels Gelap Gulita, MIA Desak Pemkot Cilegon Segera Bertindak

Tantangan lainnya adalah kesenjangan keterampilan digital. UNESCO (2022) melaporkan hanya 35 persen siswa perempuan memilih bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), dipengaruhi stereotip bahwa perempuan tidak cocok di sektor ini. Akibatnya, perempuan lebih rentan kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi di sektor-sektor seperti administrasi dan manufaktur yang didominasi mereka.

Kesenjangan ini hanya dapat dijembatani melalui kebijakan inklusif yang mendorong partisipasi perempuan dalam pendidikan dan karier STEM. Jepang, misalnya, telah memperkenalkan kebijakan “Womenomics” untuk meningkatkan partisipasi perempuan di angkatan kerja. Namun, hambatan budaya patriarkal dan beban ganda perempuan sebagai pekerja sekaligus pengurus rumah tangga masih menjadi penghalang besar.

Meski begitu, peluang tetap ada. Organisasi seperti Girls Who Code dan inisiatif global seperti HeForShe telah membuka jalan bagi perempuan muda untuk masuk ke sektor teknologi. Teknologi seperti blockchain dan AI juga dapat digunakan untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dalam rekrutmen dan distribusi sumber daya, jika dirancang dengan prinsip inklusivitas.

 

Kesetaraan gender di era Society 5.0 bukanlah utopia, melainkan tujuan yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan komitmen berkelanjutan. Masa depan bergantung pada kemampuan kita menggunakan teknologi sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan inklusif. Jika tidak, Society 5.0 hanya akan menjadi babak baru ketidaksetaraan dalam wujud yang lebih canggih. (Ades/RB)

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan Rubrik Banten