RUBRIKBANTEN – Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat menegaskan pentingnya penerapan digitalisasi dalam sistem penjurian cabang olahraga bela diri, termasuk Shorinji Kempo dan Tarung Derajat, demi memastikan keadilan, objektivitas hasil pertandingan, dan keselamatan atlet.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum KONI Pusat, Letjen TNI (Purn) Marciano Norman, dalam konferensi pers di Media Centre PON Bela Diri II 2025, yang digelar di GOR Djarum Foundation, Kudus, Jawa Tengah, pada Selasa (21/10).
“Untuk saat ini, penjurian pertandingan cabang olahraga bela diri terbaik dan paling aman adalah Taekwondo. Taekwondo sudah menerapkan digitalisasi. Kita harus berbenah ke arah yang lebih baik,” ujar Marciano.
Menurut Marciano, digitalisasi sistem penjurian menjadi keharusan, apalagi bagi cabang olahraga yang bercita-cita masuk ke level Olimpiade. Sistem ini diyakini mampu menghadirkan transparansi dan menghindari bias penilaian yang kerap menjadi sorotan publik.
“Kalau masih terus menggunakan penilaian manual berarti mempertahankan ketertinggalan di era modernisasi. Padahal, olahraga juga perlu transformasi,” tegasnya.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Umum I KONI Pusat, Mayjen TNI (Purn) Suwarno, juga menekankan pentingnya perubahan di cabang-cabang bela diri seperti Shorinji Kempo dan Tarung Derajat.
“Kami terus berdiskusi di berbagai forum untuk mendorong perubahan yang lebih baik di masa mendatang. Banyak hal yang perlu dikoreksi dari sistem pertandingan maupun penjurian agar memenuhi rasa keadilan,” jelas Suwarno.
Suwarno juga mencontohkan perlunya evaluasi terhadap sistem penentuan pemenang dalam pertandingan. Ia menyoroti konsep “sudden death” atau perpanjangan waktu, di mana pemenang ditentukan oleh atlet yang lebih dulu mencetak poin.
Langkah KONI ini menandai era baru bagi olahraga bela diri Indonesia, di mana teknologi digital akan berperan penting untuk menjaga fair play, meningkatkan profesionalisme, serta membuka peluang pengakuan internasional di kancah Olimpiade.















