CILEGON, RUBRIKBANTEN – Di tengah berlangsungnya sidang paripurna istimewa DPRD Kota Cilegon untuk mendengarkan pidato Presiden Prabowo menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Cilegon melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan anggaran Pemkot.
Berdasarkan data DTSEN 2025, tercatat 36.192 keluarga atau 24,93% rumah tangga di Cilegon masuk kategori Desil 1–4, mulai dari sangat miskin hingga rentan miskin. Rinciannya:
- Desil I (Sangat Miskin): 6.126 keluarga (4,22%)
- Desil II (Miskin): 8.231 keluarga (5,67%)
- Desil III (Hampir Miskin): 10.021 keluarga (6,90%)
- Desil IV (Rentan Miskin): 11.814 keluarga (8,14%)
Total jiwa miskin mencapai 144.340 orang.
Ironisnya, di tengah tingginya angka kemiskinan tersebut, investasi yang masuk ke Cilegon selama empat tahun terakhir justru mencetak rekor:
- 2021: Rp17,8 triliun
- 2022: Rp32,9 triliun
- 2023: Rp38,6 triliun
- 2024 (hingga September): Rp29,8 triliun
Total kumulatif mencapai ±Rp119,1 triliun (Sumber: DPMPTSP).
Namun, menurut HMI, alokasi APBD justru tidak berpihak pada rakyat kecil. Tahun 2025, anggaran bantuan sosial (bansos) hanya sekitar Rp4 miliar atau 0,18% dari APBD Kota Cilegon yang mencapai Rp2,3 triliun. Sebaliknya, belanja pegawai membengkak hingga Rp977,56 miliar atau 42,4% APBD—melebihi batas maksimal 30% yang diatur UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
“Investasi triliunan masuk, tapi hampir seperempat keluarga di Cilegon masih rentan miskin. Dana bansos hanya 0,18% APBD, sementara belanja pegawai melanggar batas UU. Pemkot harus ubah prioritas nyata,” tegas Ketua HMI Cabang Cilegon, Rizki Andika.
Tuntutan HMI Cabang Cilegon:
- Realokasi anggaran untuk bansos dan pemberdayaan warga Desil 1–4.
- Program pelatihan dan penyerapan tenaga kerja lokal.
- Ketaatan pada porsi belanja pegawai ≤30% APBD.
- Transparansi penyaluran bansos melalui dashboard publik.
- Kolaborasi dengan industri lewat CSR untuk program sosial berkelanjutan.
Bagi HMI, Cilegon tidak akan “merdeka” secara ekonomi selama kebijakan fiskal lebih mengutamakan belanja birokrasi ketimbang kesejahteraan rakyat.















