TANGERANG, RUBRIKBANTEN – Dunia perhotelan di Provinsi Banten sedang menghadapi tantangan serius. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Banten bersama para General Manager (GM) hotel se-Banten menggelar rapat darurat di Hotel Novotel, Kota Tangerang. Rapat ini digelar sebagai respons atas kebijakan pemerintah yang melarang pelajar dan mahasiswa menggelar kegiatan seremonial, seperti wisuda, di hotel.
Turut hadir dalam rapat tersebut Ketua Indonesia General Manager Association (IHGMA), Bustamar, yang menyuarakan keresahan bersama para pelaku industri perhotelan atas dampak kebijakan tersebut.
Ketua PHRI Banten, G.S Ashok Kumar, menyayangkan kebijakan yang secara eksplisit menyebut larangan penyelenggaraan acara di hotel. Menurutnya, narasi tersebut berdampak buruk pada persepsi publik terhadap hotel, khususnya di Banten.
“Ini bukan untuk mengkritisi pemerintah, tapi sangat disayangkan. Seharusnya tidak perlu membawa nama hotel. Ini sangat berpengaruh bagi lajunya perkembangan usaha hotel,” ujar Ashok.
Ia menjelaskan, larangan tersebut tak hanya memengaruhi pelajar dan mahasiswa, namun juga menghantam sektor MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) yang menjadi tulang punggung banyak hotel di daerah.
Tak hanya itu, kebijakan efisiensi anggaran perjalanan dinas pemerintah juga menjadi pukulan telak bagi okupansi hotel. Padahal, selama ini hotel menjadi pilihan utama untuk berbagai kegiatan dinas karena fasilitas lengkap dan efisiensi waktu-biaya.
“Sekarang bukan cuma acara wisuda yang dilarang, tapi juga banyak instansi yang mengurangi rapat di hotel karena efisiensi anggaran. Padahal, di hotel semua sudah terintegrasi,” jelasnya.
PHRI Banten meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang berdampak pada industri perhotelan dengan melibatkan pelaku usaha. Jika tidak, Ashok memperingatkan akan terjadi penurunan okupansi, lesunya kegiatan usaha, dan potensi pengurangan tenaga kerja.
Ashok juga menyoroti efek berantai kebijakan ini terhadap 125 komponen yang terkait langsung dengan industri hotel.
“Peternak ayam, nelayan seafood, petani sayur, tukang sabun, pembuat snack, hingga siswa SMK Pariwisata yang magang—semua terdampak. Jika hotel mati, mereka ikut mati,” tegasnya.
PHRI berharap pemerintah tidak hanya fokus memangkas anggaran, tetapi juga mulai mengalirkan kembali anggaran yang tersisa agar sektor hotel yang sedang bangkit bisa tetap eksis.
“Besar harapan kami, dari 50% anggaran yang tersisa setelah efisiensi, sebagian bisa digelontorkan agar hotel yang sedang dibangun bisa bertahan dan dunia perhotelan kembali hidup,” pungkas Ashok. (*)















