JAKARTA, RUBRIKBANTEN – Anggota DPR RI sekaligus Dosen Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Bambang Soesatyo, menegaskan urgensi pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai langkah strategis dalam menata ulang kelembagaan pengelolaan pendapatan negara. Menurut Bamsoet, BPN menjadi jawaban atas tantangan rendahnya rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren penurunan.
“Pembentukan BPN bukan sekadar wacana, tetapi kebutuhan mendesak untuk memperkuat fondasi fiskal Indonesia. Ini tercermin dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029, yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 10 Februari 2025,” ujar Bamsoet saat mengisi perkuliahan Pembaharuan Hukum Nasional di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (15/3/2025).
Mantan Ketua MPR RI ke-15 ini menjelaskan, BPN dirancang sebagai lembaga terpusat yang mengintegrasikan pengelolaan penerimaan negara, baik dari sektor pajak, kepabeanan, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tujuan utamanya adalah mendorong rasio penerimaan negara terhadap PDB hingga 23%, jauh di atas capaian tahun 2024 yang hanya 10,07%.
Namun, jalan menuju pembentukan BPN tidak mudah. Setidaknya diperlukan revisi terhadap 11 undang-undang di bidang perpajakan, kepabeanan, cukai, PNBP, hingga tata kelola keuangan negara. Bamsoet menilai, pendekatan Omnibus Law menjadi strategi ideal untuk merampingkan revisi regulasi secara terintegrasi melalui RUU Konsolidasi Penerimaan Negara.
“Omnibus Law memungkinkan kita memangkas waktu legislasi dan menyatukan seluruh aturan yang selama ini terpisah-pisah. Dengan BPN, sistem pengelolaan penerimaan negara akan lebih efisien, transparan, dan akuntabel,” tegas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini memaparkan, rendahnya pendapatan negara selama ini banyak disebabkan oleh kesenjangan administrasi dan kebijakan, termasuk tumpang tindih kewenangan antar-lembaga seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), serta kementerian/lembaga pengelola PNBP.
“Selama ini banyak potensi penerimaan negara yang belum tergarap optimal. Contoh konkret adalah PNBP dari sektor sumber daya alam (SDA), seperti migas, mineral, dan kehutanan, yang kontribusinya bisa jauh lebih besar jika dikelola di bawah satu atap seperti BPN,” ungkap Bamsoet.
Selain memperbesar ruang fiskal negara, BPN juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri, yang pada tahun 2023 mencapai 38,6% dari PDB. Dengan penerimaan negara yang optimal, pemerintah akan lebih leluasa mendanai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga program-program kesejahteraan sosial.
Bamsoet mencontohkan keberhasilan Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) dan sistem perpajakan berbasis teknologi di Estonia, yang mampu meningkatkan kepatuhan pajak hingga 85%. Ia meyakini, BPN dapat mengadopsi praktik-praktik terbaik tersebut untuk mendorong partisipasi aktif wajib pajak sekaligus melindungi hak-haknya.
“Saat ini, tingkat kepatuhan pajak kita masih rendah. Dari potensi 60 juta wajib pajak, hanya 16 juta yang melaporkan SPT di tahun 2023. Dengan BPN dan sistem yang terintegrasi, kita bisa memperbaiki ini semua,” ujar Bamsoet.
Sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia dan Kepala Badan Bela Negara FKPPI, Bamsoet menegaskan, pembentukan BPN adalah pilar utama reformasi kelembagaan keuangan negara untuk menciptakan perekonomian yang mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan.
“Jika kita tidak berani melakukan reformasi struktural sekarang, kapan lagi? BPN adalah game changer yang bisa membawa Indonesia keluar dari jebakan middle income dan membangun pondasi ekonomi nasional yang kokoh,” pungkas Bamsoet. (*)















