Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BeritaDaerahKementerianKota CilegonNasionalOpiniOrganisasiPemerintahPendidikanSosial

Ibu dan Bakti yang Tak Boleh Menunggu Tanggal Merah

113
×

Ibu dan Bakti yang Tak Boleh Menunggu Tanggal Merah

Sebarkan artikel ini

Oleh Arifin Al Bantani

Hari Ibu datang seperti ketukan pelan di pintu hati. Ia tidak memaksa, tidak berisik. Hanya mengajak kita berhenti sejenak dan bertanya dengan jujur: apakah bakti masih hidup, atau sekadar hadir saat peringatan?

Dalam keheningan itulah Islam mengingatkan, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Syukur dalam ayat ini tidak berhenti pada lisan. Ia menuntut sikap hidup, adab yang nyata, dan perhatian yang konsisten.

Di Indonesia, ibu sering diagungkan dalam kata, tetapi diuji dalam kenyataan. Banyak ibu menjalani hari dengan letih yang panjang—bekerja tanpa jeda, mengalah tanpa suara, bertahan tanpa tepuk tangan. Mereka menggendong masa depan dengan tubuh dan doa, lalu melepasnya ke dunia yang tak selalu ramah. Namun, betapa jarangnya kita bertanya: bagaimana keadaan hati mereka hari ini?

Islam tidak memulai penghormatan kepada ibu dengan pujian, melainkan dengan pengakuan atas penderitaan.
Al-Qur’an telah lebih dahulu menyingkapnya: “Ia mengandungnya dalam kelemahan yang bertambah-tambah.” Seolah wahyu menegaskan, jangan berbicara tentang bakti jika keletihan itu belum dipahami sebagai amanah.

Baca juga:  Gubernur Andra Soni Siap Perangi Obat dan Makanan Berbahaya, UMKM Banten Diangkat Kelas

Mengandung dalam kelemahan, melahirkan dengan perjuangan, merawat dengan kesabaran. Dari sanalah bakti memperoleh maknanya—bukan sebagai kewajiban kosong, melainkan adab yang hidup dalam keseharian.

Rasulullah ﷺ memotong hirarki dunia dengan kalimat sederhana namun mengguncang: “Ibumu, ibumu, ibumu.” Pengulangan itu bukan sekadar jawaban, melainkan penunjuk arah hidup. Dan ketika beliau bersabda, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu,” surga terasa begitu dekat—dekat dengan adab, dengan kesabaran, dengan nada bicara yang dilembutkan.

Rasulullah ﷺ tidak menuntut anak menjadi sempurna. Beliau hanya menuntut adab. Nada bicara yang dijaga, waktu yang disisihkan, serta doa yang setia sering kali lebih berat daripada hadiah apa pun. Sebab ketika usia menua dan tubuh melemah, yang paling dibutuhkan bukan perayaan, melainkan kehadiran.

Renungan ini mengajak kita menoleh—kepada ibu yang menua di kampung, kepada ibu yang tinggal serumah tetapi terasa jauh, kepada ibu yang telah berpulang dan hanya bisa disapa lewat doa. Dalam Islam, hubungan ini tidak diputus oleh jarak maupun kematian. Ia dijaga oleh ingatan dan amal yang terus mengalir.

Baca juga:  Rapot Hitam Walikota Helldy, IMC Desak Pemerintah Penuhi Janji dan Hentikan Praktik KKN

Hari Ibu semestinya menjadi jeda yang jujur. Waktu bersama ibu tidak pernah bertambah, ia hanya berkurang. Suara yang dulu terdengar biasa, suatu hari bisa berubah menjadi rindu yang tak terjawab.

Selama ibu masih ada, Islam mengingatkan agar kelembutan tidak ditunda dan kehadiran tidak ditawar. Dan ketika ibu telah tiada, bakti tidak berhenti—ia berlanjut dalam doa, sedekah, dan kebaikan yang diniatkan atas namanya.

Renungan ini bukan untuk menumbuhkan kesedihan, melainkan kesadaran. Bahwa jalan menuju ridha Allah SWT sering kali sangat dekat. Ia bernama ibu—dan kesabarannya jauh lebih panjang daripada waktu yang kerap kita sia-siakan.

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *