Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BeritaDaerahKementerianNasionalOpiniOrganisasiPemerintahPendidikanSosialTeknologi

Media Sosial dan Ujian Akhlak Santri di Era Digital

16
×

Media Sosial dan Ujian Akhlak Santri di Era Digital

Sebarkan artikel ini

Penulis: Yuliyanti

Media sosial hari ini nyaris tak pernah tidur. Notifikasi terus berdatangan, percakapan mengalir tanpa jeda, dan ruang maya telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari—termasuk bagi santri. Jika dahulu dunia santri lekat dengan kitab, asrama, dan ruang belajar, kini layar ponsel ikut hadir di sela-sela keseharian. Perubahan ini tidak sepenuhnya negatif, namun membawa ujian baru yang serius, terutama dalam menjaga akhlak.

Di ruang digital, batas antara benar dan keliru kerap terasa kabur. Candaan mudah berubah menjadi ejekan, kritik menjelma hujatan, dan perbedaan pendapat sering berujung saling merendahkan. Bagi santri, kondisi ini menjadi persoalan penting. Sebab, akhlak bukan sekadar mata pelajaran, melainkan ruh pendidikan pesantren. Ketika media sosial menjadi ruang interaksi baru, di sanalah akhlak santri diuji secara nyata.

Tak sedikit perilaku di media sosial yang mungkin tak akan dilakukan secara langsung. Kata-kata yang sulit diucapkan di hadapan orang lain justru dengan mudah dituliskan di kolom komentar atau grup percakapan. Anonimitas semu dan jarak emosional membuat empati melemah. Padahal, lisan di dunia nyata dan “lisan digital” sejatinya memiliki bobot moral yang sama.

Baca juga:  Banten Kirim Bantuan Rp3 Miliar dan 10 Ton Logistik untuk Sumbar, Sumut, dan Aceh: Solidaritas Tanpa Batas

Dalam kehidupan pesantren, relasi antarsantri dibangun atas dasar kebersamaan dan saling menghormati. Namun saat interaksi berpindah ke ruang digital, nilai-nilai tersebut tidak selalu ikut terbawa. Media sosial bahkan kerap menciptakan hierarki baru: siapa yang populer, siapa yang dianggap lemah, dan siapa yang dijadikan bahan candaan. Jika dibiarkan, pola ini dapat melahirkan luka psikologis yang tak kasatmata namun membekas.

Pesantren tentu tidak bisa berdiri di luar arus zaman. Menutup diri dari teknologi bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah pendampingan yang sadar dan terarah. Santri perlu dipahamkan bahwa akhlak tidak berhenti di gerbang pesantren atau ruang kelas, tetapi melekat pada setiap aktivitas, termasuk saat bermedia sosial. Etika digital harus diposisikan sebagai bagian dari adab, bukan sekadar aturan tambahan.

Di sinilah peran pendidik dan pengasuh menjadi sangat penting. Keteladanan jauh lebih efektif daripada larangan. Cara guru dan pembina bersikap, berbicara, serta merespons perbedaan di ruang publik akan menjadi cermin bagi santri. Diskusi terbuka tentang fenomena digital—termasuk candaan yang melukai dan perundungan daring—perlu dibiasakan agar santri tidak merasa sendirian menghadapi tantangan ini.

Baca juga:  Mantan Ketum PB HMI Arief Rosyid Merapat ke Golkar: Terinspirasi Sosok Bahlil Lahadalia

Santri juga perlu disadarkan bahwa perubahan besar sering bermula dari sikap kecil. Menahan satu komentar, memilih diam daripada ikut menyebarkan ejekan, atau berani membela teman yang direndahkan adalah wujud nyata akhlak yang hidup. Dunia digital memang riuh, tetapi justru di tengah keramaian itulah akhlak diuji.

Pada akhirnya, media sosial hanyalah alat. Ia bisa menjadi sarana dakwah, pembelajaran, dan penguatan karakter, namun juga dapat merusak jika akhlak ditinggalkan. Pesantren di era digital dihadapkan pada tantangan untuk tetap relevan tanpa kehilangan jati diri. Ketika nilai-nilai adab mampu dibumikan hingga ke ruang maya, santri tidak hanya siap menghadapi zaman, tetapi juga tetap teguh menjaga akhlak di dunia yang tak pernah sepi.

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *