Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Banner Atas Rubrik Banten
BeritaBisnisDaerahEkonomiKementerianKota SerangNasionalOpiniOrganisasiPemerintahPendidikanPolitikSosial

Hiburan Malam Tanpa Aturan, Kota Serang Tekor Sosial

169
×

Hiburan Malam Tanpa Aturan, Kota Serang Tekor Sosial

Sebarkan artikel ini

Hiburan Malam Kota Serang Harus Diatur

Oleh: W. Hari Pamungkas
Kepala Bapenda Kota Serang

Perdebatan mengenai hiburan malam di Kota Serang kerap terjebak pada dua kutub ekstrem: pelarangan total atas nama moral sosial, atau pembiaran atas nama ekonomi. Padahal, persoalan utamanya bukan sekadar soal “boleh atau tidak”, melainkan siapa yang menanggung harga sosial dari aktivitas hiburan malam tersebut.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa industri hiburan malam mulai dari karaoke, bar, hingga kelab malam tetap tumbuh dan beroperasi. Ironisnya, tanpa pengaturan dan skema pajak yang memadai, aktivitas ini justru melahirkan paradoks: masyarakat menanggung dampak sosial, sementara daerah nyaris tak memperoleh manfaat ekonomi.

Kajian Benefit Cost Ratio (BCR) terhadap jasa hiburan malam di Kota Serang memperlihatkan kondisi yang mengkhawatirkan. Pada skenario tanpa pajak hiburan (0 persen), total manfaat ekonomi yang dihasilkan hanya sekitar Rp3,9 miliar per tahun, terutama dari penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, biaya sosial mulai dari penegakan ketertiban, dampak kesehatan, hingga gangguan lingkungan diperkirakan mencapai Rp13,4 miliar per tahun. Artinya, setiap Rp1 biaya sosial hanya menghasilkan Rp0,3 manfaat ekonomi.

Baca juga:  Periuk Bergema! Warga Sukmajaya Tumpah Ruah Rayakan HUT RI ke-80 dengan Lomba Seru dan Pesta Rakyat

Dengan kata lain, hiburan malam tanpa pajak dan pengendalian adalah aktivitas yang merugikan daerah secara ekonomi sekaligus sosial.

Situasi ini berubah drastis ketika pendekatan fiskal dan regulatif diterapkan. Melalui penerapan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan sebesar 40 persen, manfaat ekonomi melonjak hingga sekitar Rp33,6 miliar per tahun, sementara biaya sosial relatif tetap. Nilai BCR pun meningkat menjadi 2,5. Artinya, setiap Rp1 biaya sosial mampu menghasilkan Rp2,5 manfaat ekonomi bagi daerah.

Data ini menegaskan satu hal: masalahnya bukan pada keberadaan hiburan malam, melainkan pada absennya pengaturan yang adil dan tegas.

Pajak hiburan bukan sekadar instrumen pendapatan daerah. Ia adalah alat keadilan sosial, mekanisme agar sebagian keuntungan ekonomi dikembalikan untuk menutup dampak sosial yang ditimbulkan. Tanpa pajak, beban pengawasan tetap dipikul pemerintah dan masyarakat, sementara keuntungan hanya dinikmati segelintir pelaku usaha.

Namun, pajak saja tidak cukup. Regulasi harus diperkuat melalui pembatasan lokasi, pengendalian jam operasional, klasifikasi risiko usaha, serta penegakan hukum yang konsisten. Hiburan malam berisiko menengah-tinggi harus terkonsentrasi di kawasan tertentu, karaoke benar-benar berkonsep keluarga, dan praktik-praktik menyimpang harus ditindak tegas.

Baca juga:  Serang Siap Pecah! Kick Off HPN 2026 Janjikan Hadiah Motor dan Kehadiran Tokoh Nasional di Alun-alun

Lebih dari itu, Kota Serang memiliki karakter sosial, budaya, dan religius yang kuat. Kebijakan hiburan dan pariwisata tidak boleh tercerabut dari konteks tersebut. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi, kebutuhan hiburan, dan nilai sosial masyarakat harus menjadi fondasi kebijakan daerah.

Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi “perlu atau tidak hiburan malam”, melainkan apakah pemerintah berani memastikan bahwa manfaat ekonomi benar-benar lebih besar daripada biaya sosial yang harus dibayar warga. Data telah berbicara. Kini, yang dibutuhkan adalah keberanian politik dan konsistensi kebijakan.

Jika hiburan malam memang ada, maka ia harus memberi manfaat nyata bagi Kota Serang bukan sekadar menyisakan kebisingan, keresahan, dan beban sosial. (*)

Example 120x600
Untitled-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *